Trending

Tanya & Jawab

Blog

Galeri

Teman jalan

Tour & Travel

Tujuan Wisata

Tags

Kuasa Sang Maha di Mahameru

Gusti_Dry
Gusti_Dry, pada 9 Mei 2016, 7.46
di Blog

Merasakan langsung kuasa Sang Maha di Mahameru sungguh suatu keniscayaan. Apalagi kebetulan pendakian gunung tertinggi di Pulau Jawa ini dilakukan saat masih dalam suasana Lebaran.

Semula, menggapai Mahameru, puncak Semeru di 3.676 mdpl, sekalipun ia kerap disebut sebagai atap Pulau Jawa, bukanlah prioritas buatku. Kurang menarik, karena sudah terlalu banyak cerita tentang gunung ini. Kurang menantang, karena sudah terlalu sering orang datang ke sana.

Juga, sisi kelam media informasi, terutama sejumlah film, berhasil menularkan demam mendaki bagi banyak remaja tanggung. Tanpa pemahaman yang cukup akan alam, orientasi pendakian bagi mereka kurang lebih sekadar untuk beronani ria di puncak. Implementasi pencarian jati diri menyimpang dengan mencoret batu atau menoreh batang pohon adalah gaya kuno yang sudah ditinggalkan. Simbol-simbol onani kini mereka wujudkan pada lembaran kertas. Sama saja!!! Sering kertas tertinggal bercampur sisa bungkus makanan dan sampah lainnya!

Kebanyakan anak muda itu bukannya tak pernah mendengar tentang take nothing but pictures, leave nothing but footprints, kill nothing but times. Hanya saja, tiga petuah ini kerap kehilangan kesakralannya. Semeru dan banyak gunung lainnya di Tanah Air menjadi korban.

Nah, terbayang kan betapa kini sudah tak terlalu menariknya Semeru. Di saat aku hanya melirik sebelah mata kepada para dewa yang katanya bersemayam di sana, ada seorang kawan bernama Ibnu sangat bersemangat mengajak berangkat. Ia dan Aguspian, rekan lainnya, telah menetapkan jadwal ke Malang pada hari kedua Lebaran, Sabtu 18 Juli 2015.

Singkat cerita, setelah Ibnu sukses dalam perburuan tiket kereta api jurusan Pasar Senen-Malang, bersaing dengan para pemudik, kami pun bisa berangkat menumpang kereta api berbeda dengan ongkos yang beda pula. Matarmaja yang ditumpangi Ibnu dan Agus, berbanderol tiket Rp115 ribu, berangkat tiga jam lebih awal dari Majapahit yang membawaku dengan tiket seharga Rp350 ribu (pencantuman harga ini bukan buat hitung-hitungan, tapi lebih sebagai panduan biaya perjalanan saja).

Tiba di Kota Malang, Minggu 19 Juli 2015 menjelang tengah hari, kami telah ditunggu Erdi, sahabat waktu mendaki Rinjani beberapa waktu lalu (baca: https://www.facebook.com/notes/gusti-andry/rindu-dendam-dewi-anjani/10153297367120135). Ia langsung mengantar kami bertiga ke Pasar Tumpang yang jaraknya sekitar 18 km atau setengah jam perjalanan menggunakan Avanza. Dari mobil yang dikemudikan Erdi, kami berganti kendaraan dengan Hardtop carteran untuk rute dari Pasar Tumpang ke Ranu Pani. Biaya carter Hardtop bak terbuka Rp650 ribu kami bagi dengan delapan pendaki lain asal Lombok. Dibagi rata, kami bersebelas masing-masing harus merogoh kocek Rp60 ribu.

Perjalanan mulai menegangkan. Walau hanya berjarak tak sampai 30 km, tapi karena jalanannya terjal dan berkelok, serta sebagian ada jalur offroad, tak terasa dua jam juga kami terombang ambing di atas Hardtop. Menjelang sore, tibalah kami di Ranu Pani sebagai titik awal pendakian yang mewajibkan semua pendaki untuk mengurus Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (Simaksi) Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TN-BTS).
Butuh waktu sekitar sejam untuk mendengarkan arahan petugas pos pendakian, pengecekan perlengkapan (di antaranya wajib membawa sleeping bag), menyerahkan surat keterangan sehat, dan membayar Simaksi sebesar tak sampai Rp50 ribu per orang untuk pendakian selama tiga hari. “Huuhhh... sangat murah, siapapun tak akan terlalu terbebani membayarnya. Pantas saja gunung jadi kotor,” keluhku dalam hati.

Kelar segala tetek bengek, tepat pukul empat sore, pendakian dimulai menuju Pos 1, Pos 2, Pos 3, dan berakhir di Ranu Kumbolo. Jarak yang ditempuh sekitar 10 km dengan rute pendakian relatif ringan menyisir sisi perbukitan. Setelah empat jam berjalan, tibalah kami di Ranu Kumbolo, danau di lembah kaki Gunung Semeru, yang dilarang keras dipakai untuk berenang atau mencuci. Tujuannya agar air danau tak tercemar sabun atau zat kimia lainnya. Tapi, siapa juga yang mau nyebur di air yang dinginnya seperti dari kulkas? “Bohong dan sangat tidak mendidik ada film menceritakan bintang filmnya berenang di Ranu Kumbolo,” kata petugas TN-BTS saat memberikan arahan di pos pendakian tadi.

Usai mendirikan tenda dan bersantap malam, karena dingin menusuk tulang, bersedekap dalam sleeping bag adalah pilihan paling bijak. Apalagi, dalam pendakian ini, sebenarnya fisikku tidak terlalu fit oleh karena flu yang betah mampir sejak hari terakhir puasa. Dua butir pil pereda demam kutelan sekaligus berharap efek kimianya mampu melelapkan mataku.

Namun apa daya, menjelang subuh, aku dan juga Agus tak kuasa melanjutkan tidur, terusik dengkuran Ibnu. Tapi, kami berdua berterima kasih, sebab berkat dengkur itulah, kami bisa berburu sunrise di Ranu Kumbolo.

Membunuh waktu di tepi danau ini memang paling asyik. Hingga tengah hari menjelang, Senin 20 Juli 2015, barulah kami melanjutkan perjalanan melalui Tanjakan Cinta, padang sabana Oro-oro Ombo, hutan pinus Cemoro Kandang, dan berakhir di Kalimati camping ground. Kami membutuhkan waktu tiga setengah jam menempuh jalur yang lumayan menguras tenaga. Dalam perjalanan ini, anggota kami bertambah satu orang, yakni Pak Agus, ultra light solo senior yang tak mau disebut pendaki. Ia malah menyebut dirinya hanyalah seorang pelancong. Padahal, ia sudah lima kali mendaki puncak Semeru dan tak kurang 20 kali melancong ke Ranu Kumbolo.

Maaf, kondisi yang kurang fit kujadikan alasan untuk tidak membantu Ibnu dan Agus menyiapkan makan. Aku memilih menemani Pak Agus mengambil persediaan air di mata air Sumber Mani yang berjarak sekitar 1 km ke arah barat. Ternyata..., butuh waktu satu jam bolak balik dari tenda ke Sumber Mani melalui jalan terjal. Semakin remuklah fisikku! Oya, di Sumber Mani aku sempat shalat Ashar dan didaulat menjadi imam oleh seorang pendaki lain. Dalam shalat, ketika ingin berdiri dari duduk melanjutkan ke rakaat berikutnya, kalimat Allahuakbar kulafalkan penuh tekanan seolah sedemikian khusuk. Padahal, aku begitu karena menahan pegalnya otot betis dan paha.

Kondisi fisikku benar-benar sulit diajak kompromi. Jujur, muncul ragu, sanggupkah aku menuntaskan pendakian ke Mahameru yang sudah di depan mata? Sanggupkah aku melakukan summit trek pada jalur terjal berkerikil di batas vegetasi nanti? Melihat keraguanku, Pak Agus sempat memberi semangat dengan kata-kata yang tak bisa kuingat lagi. Mendengarnya, aku hanya terbuai lalu tertidur.

Lagi-lagi, aku terbangun oleh dengkur Ibnu. Kulihat arloji, masih dua jam lagi sebelum pukul 00 yang kami sepakati untuk waktu memulai summit trek. Catatan kepada yang membaca tulisan ini, aku selalu menggunakan istilah summit trek mengantikan summit attack. Alasanku, kata trek lebih bersahabat ketimbang harus melakukan attack terhadap puncak.

Setengah jam sebelum jadwal summit trek, teman-teman kubangunkan. Kami segera bersiap, menyeduh minuman sereal, kemudian berbagi sedikit bekal roti dan coklat. Sedangkan air dua liter sudah kusiapkan menggunakan streamer (waterbladder) yang terhubung dengan daypack bag.
Beberapa menit lewat tengah malam, Selasa 21 Juli 2015, aku bersama Ibnu dan Agus memulai summit trek. Sedangkan Pak Agus, yang mungkin sudah bosan muncak, berbaik hati tinggal menjaga tenda.

Semangat 45 kugelorakan dalam hati melawan rasa ragu akan kondisi fisikku. Satu jam pertama, jalur bersemak dan berdebu kulalui perlahan. Bersama kami, ada juga beberapa orang dari kelompok lain mendaki beriringan.

Dua jam kemudian, jalur berkemiringan 30 hingga 50 derajat semakin licin berkerikil. Sesemak sedikit demi sedikit berkurang, hingga akhirnya kami betul-betul berada di batas vegetasi. Beberapa menit kemudian, rombongan kami dikagetkan oleh adanya rangkaian panjang cahaya headlamp beberapa puluh meter di sisi sebelah kiri. Ternyata, kamilah yang keliru memilih jalur pendakian.

Demi keselamatan bersama, kami harus memotong jalur di kemirigan hampir 60 derajat agar dapat bergabung dengan rombongan tersebut. Rupanya, saat keliru jalur, kami justru telah menghemat waktu pendakian beberapa puluh menit. Kami kini bergabung puluhan pendaki lain yang tadinya berangkat satu dua jam lebih awal.

Tibalah saat tantangan terakhir. Berjalan terseok dalam barisan membentuk langkah zigzag mengakali medan miring berkerikil dan berpasir. Kian berat langkah kaki, namun puncak tak kunjung tergapai. Napas pun makin tersengal seiring udara yang kian menipis. Saat fajar menyingsing, di tepi batas diri ini aku berzikir. Laailahailallah... Lalu kulapalkan Allahuakbar di setiap langkah.

Tidak seperti kebanyakan rekan pendaki lain yang kerap memaksakan diri berjalan cepat lalu mengambil waktu istirahat dengan duduk, aku memilih berjalan konstan 10 hingga 20 langkah dan hanya berhenti sejenak untuk menarik napas bila kelelahan. Entah berapa kali irama berjalan seperti itu kuulang dengan tetap selalu menyebut nama Sang Maha yang kuasanya sungguh terbukti memberikan tenaga tambahan bagiku.

Hingga persis saat matahari tanpa malu lagi menampakkan diri, tepatnya pukul 05.30 WIB, atau setelah berjuang selama lima setengah jam, kami tiba di dataran puncak seluas kurang lebih lapangan basket. Embusan angin dingin kencang menerpa paras-paras puas para pendaki. Terdengar suara gemuruh dari perut kawah Mahameru. Sejurus berikutnya asap putih mengepul membentuk gumpalan awan indah bak menyambut kehadiran kami. Selfie time and the end!


Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar

© backpackerindonesia.com