© backpackerindonesia.com
Banyak cerita beratnya sebuah pendakian. Hellooow..., yang berat itu saat turun bro! Buktinya saya beberapa kali terpeleset. Lutut jadi korban. Ulah sebab, mungkin, sempat mengusik keabadian yang bersemayam di keagungannya... Mungkin?!
Dua pekan sebelum peristiwa yang menyebabkan lutut ini keseleo, menggunakan Bus Damri, saya tiba di Terminal Keberangkatan 2F Bandara Soekarno-Hatta. Cukup menjadi perhatian orang, barangkali karena tentengan yang tidak biasa. Bila kebanyakan orang di bandara membawa koper, maka yang menempel di badan saya adalah carrier lengkap dengan gulungan tenda menggantung di pundak. Oya, sepatu gunung yang baru saya beli dua hari sebelumnya, juga ikut menggagahi penampilan.
Meski tugas utama saya ke Bali kali ini untuk memperkuat awak Media Center APEC 2013 yang dibangun instansi tempat saya bekerja, namun saya punya misi pribadi. Rencananya, usai direpotkan mengurus publikasi pertemuan para pejabat tinggi dan pengusaha se-Asia Pasifik itu, saya ingin menapaki keagungan pulau Dewata. Saya ingin mendaki ke puncak Agung, gunung tertinggi di Pulau Bali. Salah satu gugusan gunung api aktif di Indonesia yang tercatat berketinggian 3.142 mdpl.
Ada mungkin sebulan lebih benak saya dipenuhi dengan berbagai hal tentang pendakian. Mulai dari apa saja yang harus dibeli untuk kebutuhan mendaki, sampai beragam runutan itinerary, ter-copy rapi dalam kepala. Termasuk diskusi berkali-kali dengan Wandi, rekan saya yang rencananya akan membantu pengambilan gambar untuk film dokumenter pendakian sakral ini.
Saya memang sangat bergairah. Maklum, sungguh dulunya waktu SMA, saya adalah pentolan kelompok siswa pencinta alam. Hobi yang kemudian terpendam 20 tahun lebih oleh kesibukan kuliah dan pekerjaan. Sama dengan terpendamnya waktu atau menjadikan betapa tidak pentingnya kesibukan selama 10 hari mengurus Media Center APEC.
Dus, tibalah hari yang ditunggu-tunggu. Kegiatan APEC usai. Saat rekan-rekan sekantor bersiap check out dari Hotel Santika Siligita, Nusa Dua, kemudian bergegas ke Bandara Ngurah Rai untuk kembali ke Jakarta, maka saya dan Wandi justru baru akan memulai perjalanan yang sesungguhnya.
Dengan menggunakan motor sewaan, kami meninggalkan hotel pada Hari Rabu, 9 Oktober 2013, sekitar pukul 10.00 Wita. Kami melalui rute Jalan By Pass Ngurah Rai sepanjang 20 km yang kemudian dilanjutkan melewati Jalan By Pass Ida Bagus Mantra kurang lebih 10 km hingga tiba di Kabupaten Klungkung. Dari kota yang memadukan kawasan pantai dan pegunungan ini, kami memasuki Jalan Raya Besakih, kira-kira juga berjarak 10 km. Tepat matahari di ubun-ubun, kami sudah sampai di kawasan wisata Pura Besakih, yang merupakan titik awal pendakian Gunung Agung.
Sesuai informasi yang saya kumpulkan sebelumnya, kami menemui Bli Sarmadi, anggota Besakih Tour and Local Guide Organization (Betalgo). Pendakian ke puncak gunung yang paling dikeramatkan oleh masyarakat Bali ini wajib menggunakan jasa pemandu setempat. “Tepatnya, sejak 2008, setelah banyak kecelakaan yang memakan korban tewas,” ungkap Bli Sarmadi. Selain itu, tambahnya, juga untuk menghindari agar pendakian tidak mengganggu berbagai upacara adat masyarakat setempat.
Dari cerita yang saya dapatkan, pada tahun 2007, tiga pendaki dilaporkan hilang. Setelah pencarian selama beberapa hari, satu orang ditemukan di lereng terjal dengan kondisi sudah membusuk. Dua orang lainnya tidak ditemukan hingga kini. Kemudian pada 2008, dua pendaki mengalami kecelakaan. Satu orang berhasil turun meminta pertolongan. Sedangkan rekannya, beberapa hari kemudian ditemukan dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Oleh sebab berbagai kecelakaan pendakian itulah, ketentuan mendaki ditemani pemandu lokal menjadi syarat mutlak. Meski tentu saja ada biaya yang dikeluarkan sebesar Rp500 ribu per guide per sekali pendakian untuk memandu maksimal empat pendaki. Untuk pendaki yang berstatus wisatawan mancanegara, dipatok angka maksimal Rp700 ribu.
Setelah beberapa saat ngobrol bersama Bli Sarmadi, ia kemudian memperkenalkan Bli Gomboh yang akan menjadi guide kami. Bli Sarmadi sendiri tidak ikut, karena ia mengaku masih lelah setelah sehari sebelumnya memandu beberapa pendaki asing.
Bersama Bli Gomboh, kami kemudian membeli sejumlah logistik. Antara lain, yang paling utama air mineral ukuran satu literan. Untuk satu orang dianjurkan persediaan minimal dua liter, hingga total kami harus membawa enam botol besar air mineral. “Sepanjang jalan hingga ke puncak kita tidak menemukan mata air. Jadi bekal air ini penting sekali,” ujar Bli Gomboh mengingatkan.
Sebagai bekal makanan, kami memilih membeli beberapa bungkus tipat (sebutan masyarakat lokal untuk ketupat yang dibungkus dengan plastik), mie instant, roti, dan biskuit. Tentu tak ketinggalan beberapa bungkus rokok. Sayang, untuk pendakian kali ini, saya alpa memasukkan arak Bali ke dalam daftar perbekalan.
Menit-menit menjelang jam dua siang, langit di atas Pura Besakih cukup cerah, meski puncak Gunung Agung tak tampak karena tertutup halimun. Secangkir kopi Bali dan pisang goreng menemani kami mengepaskan waktu untuk memulai pendakian dari rumah Bli Gomboh di ketinggian sekitar 1.200 mdpl. Setelah habis sebatang rokok, kami pun berangkat. Karena ini pendakian tim, saya kebagian memanggul carrier berisi pakaian ganti, sleeping bag, dan dompet P3K. Wandi sudah cukup direpotkan dengan seransel perlengkapan kamera. Sedangkan Bli Gomboh bertugas membawa perbakalan beserta tenda.
Baru sekitar satu jam melangkah, kami langsung disuguhi medan terjal mendaki. Manusia memang boleh berencana, tapi Yang di Atas berkehendak lain. Wandi memutuskan untuk mundur dari misi. Dengan arti lain, niatan mengabadikan pendakian ini ke dalam dokumentasi video, terpaksa urung. Di tengah kegalauan, ketimbang ketidaksiapan Wandi atas pendakian ini berdampak hal yang tidak diinginkan, terbersit semangat, semoga saja nanti melalui rangkaian huruf, saya mampu bercerita sejelas gambar yang batal terekam.
Sejenak saya menatap nanar langkah gontai rekan saya menuruni kembali jalur yang baru beberapa menit sebelumnya kami lewati dengan semangat. Sejurus berikutnya, saya dan Bli Gomboh kembali menerabas sesemak, menapaki jalan setapak licin berkerikil di kemiringan sekitar 30 derajat. Menit demi menit terlewati, jalur landai nyaris tak pernah kami jumpai. Justru semakin menanjak dengan kemiringan bervariasi dari 45 hingga 70 derajat.
Setelah nonstop berjalan sekitar tiga jam, saya pun mulai kehabisan napas. Perut juga mulai terasa keroncongan. Saya meminta waktu kepada Bli Gomboh untuk beristirahat, yang dijawab dengan kata nanti dulu, karena sebentar lagi mencapai ketinggian 2.000 mdpl. Untunglah lokasi yang dimaksud tak seberapa jauh lagi, kami pun beristirahat. Lahap saya santap sebungkus tipat dan meneguk minuman berharap keringat yang keluar terganti.
Ada mungkin 20 menitan kami beristirahat. Setelah habis sebatang rokok, kami kembali lanjut. Tidak lupa saya peringatkan Bli Gomboh agar mematikan puntung rokoknya dengan benar. Beberapa hari sebelum pendakian ini, ramai di televisi dan koran memberitakan kebakaran di lereng Gunung Agung ini akibat kemarau panjang.
Selain soal kewaspadaan akan kebakaran hutan, saya juga sangat prihatin dengan banyaknya sampah di beberapa titik jalur pendakian sisa perbekalan para pendaki. Terniat nanti saat turun saya akan mengumpulkan sampah itu sebisanya. Termasuk mulai menyimpan ke dalam kantong celana setiap puntung rokok yang sudah saya isap.
Magrib menjelang lebih cepat dikarenakan kabut cukup tebal di jalur pendakian. Jalan setapak yang terasa kian menanjak semakin menuntut kewaspadaan langkah. Apalagi saat hari benar-benar gelap, sehingga headlamp menjadi alat wajib pendakian. Paling tidak, dengan mata hanya tertuju pada arah jalur pendakian yang tertangkap cahaya senter kepala ini, curam jurang di sisi-sisi jalur jadi tidak terperhatikan.
Untunglah, saat hari makin gelap dan curam jalur pendakian yang beberapa kali menuntut saya setengah merayap, tibalah kami di dataran seluas kira-kira 5 x 2 meter. Cukup untuk mendirikan tenda. Tepat pukul tujuh malam, kami memutuskan menginap di ketinggian 2.454 mdpl. Saat saya duduk beristirahat, gesit Bli Gomboh mencari rerantingan untuk membuat api.
Saya kali ini memang sengaja tidak membawa kompor trangia gas atau parafin (perlengkapan memasak standar pendaki). Pilihan menggunakan dahan dan ranting untuk memasak atau api unggun rasanya lebih menyatu dengan alam. Demikian pula dengan kesepakatan kami, karena malam sangat cerah, tenda tidak didirikan. Cukup dihamparkan, lalu kami menyusupkan badan ke dalam sleeping bag agar bisa menikmati indahnya gemintang. Walau risiko udara yang dingin tentu saja kami ambil sebagai konsekuensinya. Saat itulah ada sedikit penyesalan, mengapa sampai lupa membawa arak Bali yang mungkin berguna menghangatkan tubuh.
Yang pasti, malam itu menu tipat dan mie instant rebus sangatlah nikmat. Klop betul dengan kopi susu panas dan beberapa batang rokok pengantar istirahat. Sekitar pukul sembilan malam, kami pun mencoba untuk memejamkan mata. Rencana pada pukul empat dinihari, misi akan dilanjutkan untuk menapaki jalur pendakian tebing batu, melewati batas vegetasi. Diperkirakan, tepat saat sunrise, kami akan sampai di puncak Gunung Agung.
Saya yang sangat bergairah tidak bisa tidur lelap. Baru jam tiga lewat sedikit, sudah terbangun. Menyalakan kembali api, merebus air, menyeduh kopi, dan membereskan segala perlengkapan. Sayangnya, Bil Gomboh tampaknya terlalu lelah, ia masih lelap hingga pukul empat pun lewat. Saya coba bangunkan dia, karena waktu tak mungkin menunggu. Tak berapa lama ia bangun dan kami pun melanjutkan pendakian, saat jarum kurang seperempat dari angka lima.
Dalam gelap meraba, dan jalur yang semakin sulit, tentu saja ini bukan pendakian yang mudah. Apalagi saat mencapai batas vegetasi, harus ekstra hati-hati melangkah di bebatuan dengan kemiringin mencapai 70 derajat. Ditambah embusan angin yang kencang menerpa. Saya pun tak merasa malu bila beberapa kali harus merayap guna menyeimbangkan tubuh. Dan, di jalur batu inilah akhirnya saya harus merelakan kehilangan kesempatan untuk menikmati sunrise. Sekadar menghibur diri, beruntung saya menjumpai eloknya ladang edelweiss di bawah siraman cahaya matahari terbit. Bunga keabadian di keagungan dewata.
Terus berjalan, merangkak, merayap, tegak lagi, akhirnya puncak satu Sang Agung berhasil saya capai tepat jarum jam di angka tujuh. Pada altimeter tercatat ketinggian puncak satu ini mencapai 3.042 mdpl. Tampak kejauhan dari arah matahari terbit, berdiri kokoh puncak dua dan tiga. Untuk menuju ke sana, saya harus melalui jalan setapak selebar tak lebih dari satu meter melalui punggungan gunung sepanjang kira-kira 200 meter, dengan jurang di sisi kiri dan kanannya. Tantangannya adalah angin yang cukup kencang, sehingga demi keamanan, kami meninggalkan segala bawaan di puncak satu.
Ada sensasi luar biasa yang sulit saya ungkapkan kala melintasi punggungan gunung ini. Puncak dua, yang tercatat di altimeter berketinggian 3.045 mdpl, kami lalui. Sepuluh menit kemudian, tibalah kami di puncak tiga, persis di sisi kawah Gunung Agung yang dasarnya sangat dalam, lebih 300 meter. Bli Gomboh langsung melakukan sembahyang singkat dengan membakar dupa. Saya sendiri asyik menstabilkan altimeter untuk mengukur puncak tertinggi Pulau Dewata ini.
Di puncak tiga ini terdapat plat bertuliskan G Agung 3.142 mdpl Selamat Datang di Puncak. Namun, pada altimeter hanya tercatat 3.047 mdpl. Konon, dari beberapa informasi yang saya dapatkan sebelumnya, memang terjadi fenomena alam yang menyebabkan berkurangnya ketinggian ini. Hal tersebut dikarenakan pergeseran kerak bumi, sebab Pulau Bali terletak di jalur patahan lempeng Pasifik.
Satu jam lebih saya memuaskan diri menikmati pemandangan. Gunung Batur tampak di kejauhan sebelah selatan. Demikian pula samar terpampang di kejauhan batas darat dan lautan. Sayangnya, d sisi timur, karena langit kurang bersih, puncak Gunung Rinjani di Pulau Lombok tidak terlihat. Tapi itu tak menghalangi saya untuk terus mengambil beberapa foto narsis. Prinsip pertama pendaki berlaku, yakni take nothing but pictures.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat. Tiba saatnya turun. Perjalanan yang justru bagi saya lebih berat ketimbang saat mendaki. Apa pasal, selain fisik yang tentu saja sudah tidak prima, menjaga keseimbangan langkah di turunan curam benar-benar membutuhkan konsentrasi.
Saat kembali melewati ladang edelweiss, membuncah godaan tak tertahan untuk membawa pulang beberapa kuntum bunga keabadian itu. Batin saya bergolak menahan rasa. Apalagi saat mendapati banyak kuntum edelweiss yang sudah jatuh di tanah. Saya lupa prinsip pertama pendaki tadi. Saya pungut sekuntum edelweiss yang berserak di tanah, diam-diam saya kantongi. Dalam hati saya berpikir, toh saya tidak memetik langsung dari pohonnya.
Belum usai batin saya berontak melawan pembenaran atas pelanggaran yang saya lakukan, tiba-tiba keseimbangan saya hilang. Saya terpeleset untuk pertama kalinya, hingga menyebabkan telapak tangan berdarah saat menahan jatuh di jalur berbatu. Saya kembali berdiri dan mulai melangkah dengan berpikir harus lebih hati-hati. Tapi, baru beberapa meter, kembali saya terpeleset. Kali ini lebih parah, sebab tongkat yang saya pegang patah dan lutut kaki sebelah kiri sakit luar biasa.
Untuk beberapa saat saya menahan sakit sambil berteriak memanggil Bli Gomboh yang sudah tak tampak tertutup bebatuan di bawah. Di tengah kepanikan inilah saya sadar, bahwa sungguh salah telah mengusik keabadian di keagungan. Saya rogoh kantong celana dan saya kembalikan edelweiss ke habitatnya. Bukannya percaya pada tahayul, tapi satu hal yang kala itu saya yakini, saya sudah melakukan kesalahan. Jangan pernah sekali-kali mengambil edelweiss, sekalipun yang sudah berserak di tanah.
Terbukti, meski lutut sangat nyeri, langkah-langkah saya berikutnya perlahan mulus. Persis seperti prinsip kedua pendaki, leave nothing but footprints. Hanya satu yang saya sesalkan, niat untuk memungut sampah jadi tidak maksimal saya lakukan. Paling tidak, di pendakian ini, kami tidak menambah kotor lereng gunung. Semua sisa bekal, saya usahakan terangkut kembali ke bawah.
Bli Gomboh rupanya sudah menunggu di lokasi kami menginap semalam. Saya langsung disuguhi secangkir kopi panas seraya ia menanyakan mengapa agak lambat. Saya ceritakan tadi terpeleset dua kali hingga lutut kaki kiri terkilir. Tapi, saya malu untuk mengakui kalau sempat berbuat tak senonoh terhadap bunga keabadian.
Lutut terkilir adalah risiko ketidakhati-hatian atau kebodohan yang harus saya terima. Tinggal bagaimana saya menepati prinsip ketiga pendaki, kill nothing but time. Betapa tidak, saya sudah tak peduli berapa waktu yang dibutuhkan dalam perjalanan turun ini. Apalagi, sepanjang perjalanan, saya terpaksa harus berpegangan di pundak Bli Gomboh, menahan sakit lutut, bila melalui turunan terjal. Beberapa kali kami terpeleset bersama. Tidak ada yang fatal.
Setelah dua atau tiga kali beristirahat, sekitar pukul tiga sore, sampailah kami kembali di kawasan Pura Besakih. Rasa sakit terkilir dan penat terabaikan. Terbalut rasa puas atas keberhasilan menapaki keagungan dewata. (Bali, 9-10 Oktober 2013)
Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar
© backpackerindonesia.com