© backpackerindonesia.com
Sempat terpikir menuliskan “3+7+5 = 3.726” untuk judul kisah ini, karena butuh waktu 3 jam di hari pertama, 7 jam hari kedua, dan 5 jam summit trek. Tapi agaknya “Rindu Dendam Dewi Anjani” lebihlah tepat. Setidaknya, itulah perasaan subjektifku sepanjang pendakian ke puncak Gunung Rinjani atau disebut juga Dewi Anjani, sesudahnya, kini, dan berpuluh tahun lalu.
Sejak pesawat udara yang mengantarku dari Soekarno-Hatta mendarat di landasan BIL, pada 13 Mei 2015, paling pertama kupelototi adalah puncak Gunung Rinjani. Wujud meruncing di antara punggungan yang sudah sedemikian akrab di mataku berpuluh tahun lalu. Ya, semasa duduk di bangku SD, pertengahan 1980-an, aku memang pernah tinggal di Ampenan, Lombok Barat. Bila sedang berenang di Pantai Ampenan, aku kerap memandang puncang Gunung Agung nun jauh di Pulau Bali seberang. Saat menoleh ke belakang, maka puncak Rinjanilah yang terpampang.
Lebih 30 tahun berselang, berkarat dendam. Oktober 2013, telah kucumbu hangat Sang Agung yang kisah pendakiannya kutuliskan dalam catatan sebelumnya berjudul “Jangan Usik Keabadian di Keagungan” https://www.facebook.com/notes/gusti-andry/jangan-usik-keabadian-di-keagungan/10151960500660135. Kini, saat-saat bertemu Dewi Anjani, semakin dekat. Gairah yang masih terpaksa kutahan lagi satu dua hari, karena terlebih dahulu harus menghadiri resepsi Merariq (pernikahan dalam Bahasa Sasak, Suku Lombok) Dion, keponakan yang tinggal di Ampenan.
Singkat kisah, sehari setelah Merariq yang meriah, saat seluruh keluarga masih berkumpul berpelesiran, aku memilih melipir menuju Kantor Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) di Jalan Lingkar Selatan. Dengan mengendarai mobil yang dikemudikan kakak ipar, aku berusaha mencari info pendakian sebanyak mungkin dari petugas TNGR. Maklumlah, rencana semula ini memang pendakian solo. Sayangnya, tak banyak info yang kudapat dari petugas TNGR, selain bagaimana mencari transportasi yang harus digunakan menuju Desa Sembalun, yang merupakan batas awal pendakian.
Sekitar setengah jam kemudian, aku tiba di Bertais kawasan Sweta, Lombok Tengah. Kakak iparku hanya bisa mengantar sampai di sini. Perjalanan kemudian dilanjut menggunakan angkutan antarkabupaten yang disebut engkel, mirip angkot duapertiga jurusan Bekasi. Hanya dengan membayar ongkos Rp20 ribu, kutempuh perjalanan sekitar dua jam bersama ina-ina (ibu-ibu) menuju Aek Mel, Lombok Timur.
Menjelang tengah hari, aku tiba di Pasar Aek Mel untuk berganti angkutan desa lainnya menuju Sembalun. Angkutan desa dimaksud adalah jenis pick up bak terbuka pengangkut hasil kebun. Seru juga duduk di atas tumpukan bawang bersama, lagi-lagi, ditemani ina-ina yang tak pasih berbahasa Indonesia, menjajal jalan mendaki menuju kaki Rinjani. Yang bisa kumengerti dari percakapan ina-ina hanyalah sindiran mereka kepada si pengemudi pick up, karena perjalanan kami waktunya persis saat Shalat Jumat. “Berembei ja, nde shalat no si sopir (bagaimana ini, tidak shalat si sopir),” sungut seorang ina.
Sebagai pria muslim, tentu aku juga malu, tapi untunglah perjalanan ini hanya sekitar satu jam. Tibalah aku di Desa Sembalun yang indahnya sulit digambarkan lewat tulisan ini. Aku hanya bisa katakan Desa Sembalun terletak di sebuah lembah yang dikelilingi lereng-lereng pegunungan menawan mata.
Setelah membayar ongkos Rp20 ribu, aku mampir di Pos Pendakian TNGR Sembalun untuk mengurus izin. Lazimnya di daerah lain di Indonesia, biaya yang harus dibayar untuk Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (Simaksi) tergolong murah. Hanya membayar Rp15 ribu, orang sudah boleh mandaki Gunung Rinjani. Bandingkan dengan biaya Simaksi Gunung Kinabalu di Kalimantan Utara, Malaysia, yang mencapai Rp1,5 juta. Dampak langsung murahnya biaya Simaksi Rinjani ini nantinya jelas terlihat dari banyaknya sampah di sepanjang jalur pendakian.
Sebelum berkepanjangan dalam kecamuk kritis isu lingkungan, aku fokus berdiskusi dengan Dony, pemuda lokal pengelola trekking organizer yang banyak memberikan berbagai informasi. Aku juga berkenalan dengan empat pendaki dari Bogor, yakni Jiwo, Sule, Cahyo dan Nisa. Kami pun mencocokkan itenerary pendakian. Saat belum memutuskan kapan awal pendakian, sore itu atau esok pagi, muncullah Erdi, Saefan, dan Miko. Ketiganya mengajak untuk berangkat sore itu juga. Oya, Erdi adalah pria asal Malang yang sudah cukup lama menetap di Mataram dan telah mendaki Rinjani empat kali. Sedangkan Saefan orang Bandung yang kebetulan sebulan terakhir ini ada pekerjaan di Mataram. Dan, si Miko adalah ABG yang mencoba mencari penghidupan baru di Mataram.
Berdelapan kami memutuskan start pendakian sore itu juga. Kami pun berkumpul di Warung Bambu milik Pak Supri (konon ia pendaki asal Sukabumi yang kepincut Rinjani dan menetap di sini), yang letaknya sekitar 50 meter dari Pos Pendakian. Sembari makan siang dengan lauk telur dadar dan kangkung bumbu pelecing ulek, kami bersepakat mengenai tarif untuk Amak Sas, penduduk lokal yang membantu kami sebagai porter. Angka yang disepakati adalah Rp200 ribu/hari dikali tiga hari pendakian, untuk membantu membawa sebagian perlengkapan dan air minum. Amak Sas mengajak Zul, anaknya yang baru berusia 10 tahun, untuk turut serta.
Usai waktu Ashar, pendakian dimulai. Seperempat jam perjalanan kami menggunakan mobil pick up menuju batas kawasan pendakian. Dengan menggunakan pick up, praktis kami menghemat waktu beberapa jam, karena tidak harus melalui Pos 1 Pemantauan. Kami langsung menuju jalur jalan setapak sawah, padang rumput, dan sedikit rerimbunan hutan berpenghuni kera. Jalan memang masih landai, namun napas sudah mulai terpacu beradaptasi dengan rute panjang yang kami tempuh. Miko yang paling junior di kelompok kami mulai tampak kegerahan. Beberapa kali ia merapikan letak carrier yang dirasa kurang seimbang di pundak.
Di tengah padang rumput, kami bertemu dengan tiga pendaki lain. Meski tak sempat berkenalan, mereka bertiga cukup akrab bercanda sepanjang jalan. Belakangan nanti setelah turun gunung, baru kami mengenal nama ketiganya, yakni Ibnu, Hendra, dan Awink. Sebelumnya, kami hanya menyebut mereka dengan istilah tetangga, sebab di dua pos menginap, mereka selalu mendirikan tenda di dekat kami.
Tepat tiga jam, tibalah kami di Pos 2 Tengengean. Seiring matahari terbenam, tenda didirikan dan bekal santap malam disiapkan. Beruntungnya aku yang batal melakukan pendakian solo, karena kini tidak harus menyiapkan makan sendiri.
Berhubung badan belum terlalu lelah, agak sulit bagi kami untuk segera tidur. Senda gurau pun mengakrabkan kami yang baru beberapa jam kenal, termasuk dengan para tetangga. Hanya karena udara malam yang kira-kira sama dengan suhu terendah pada AC plus fan maksimal sajalah yang memaksa kami untuk masuk tenda berselimut sleeping bag. Malam panjang kulalui dengan mimpi penuh gariah mencumbu Rinjani.
Tiba-tiba, kuterusik oleh gelak tawa Erdi dan Saefan yang merasa konyol sendiri saat mengetahui dimana arah matahari terbit. Rupanya, kami semalam shalat Isya salah kiblat, bukan ke arah matahari tenggelam, melainkan ke arah munculnya matahari pagi ini. Di pagi yang cerah itu, Dewi Anjani bak ikut tersenyum di kejauhan. “Aku akan segera memelukmu!”
Tepat pukul sembilan, perjalanan kami lanjutkan melalui jalan mendaki di padang rerumputan. Sebelum tengah hari, kami sudah tiba di Pos 3 Pade Balong. Rupanya, banyak pendaki lain yang memilih pos ini sebagai lokasi ngecamp. Setelah beristirahat sebentar, kami terus melanjutkan pendakian melalui jalur bukit penyesalan. Disebut penyesalan, karena setiap pendaki yang melaluinya pasti akan menyesal oleh sebab jalur terjal yang seolah tak kunjung habis. Dulunya ada dua jalur yang bisa dipilih, yaitu bukit penyesalan dan bukit penderitaan. Keduanya setali tiga uang.
Sungguh tenaga sangat terkuras melalui jalur dengan kemiringan 30 hingga 70 derajat. Di balik puncak bukit, ada bukit lagi. Aku tak sempat menghitungnya, tapi ada yang mengatakan tujuh, ada pula yang mengatakan sembilan bukit yang penuh penderitaan dan penyesalan. Hingga saat matahari condong sepenggalah, tibalah kami di Plawangan Sembalun. Tepat tujuh jam kami berjalan.
Plawangan Sembalun adalah pos terakhir di punggungan gunung sebagai titik awal summit trek dengan pemandangan Danau Segara Anak di sebalah barat. Setiap pendaki pasti akan mengucap rasa takjub sesuai dengan keyakinannya masing-masing setibanya di sini. Subhanallah, indahnya, gila, luar biasa, damn, oh my God, dan lain-lain. Kecuali aku yang hanya tersenyum penuh nafsu menatap reruncing puncak Dewi Anjani. “Sebentar lagi kau kan kukecup!”
Kami kemudian memilih lokasi mendirikan tenda di sisi ujung selatan dengan pertimbangan mendekati sumber mata air dan titik awal pendakian puncak. Mumpung matahari sore masih cukup terik, walaupun angin berembus ibarat keluar dari freezer kulkas, aku memilih untuk mandi dan mengosongkan isi perut. Sial, saat mojok di semak-semak, terlalu banyak ranjau yang akhirnya terinjak saat aku sendiri melakukan pengeboman. Tak ada pilihan lain, aku harus melawan dinginnya air demi membersihkan diri.
Bila malam pertama di Pos 2 aku sulit tidur, tapi di Plawangan Sembalun ini kantuk tak tertahankan. Selain tenaga yang sudah sangat terkuras, jadwal summit trek telah kami tetapkan pada pukul satu dinihari. Alhasil, setelah menggabungkan shalat Magrib dan Isya, bersantap malam, aku langsung mendengkur.
Menjelang tengah malam, aku terbangun dari tidur tanpa mimpi. Bersama kami kemudian meneguk minuman sereal dan kopi panas melawan dingin menusuk tulang. Tepat pukul satu dinihari, berbekal air mineral dan makanan ringan, summit trek dimulai. Aku didapuk untuk memimpin doa: "Demi kebersihan Rinjani, tolong bawa kembali turun sampah kalian, Bismillah."
Jalur pertama yang kami lalui adalah tanjakan di hutan berkerikil dengan kemiringan hingga 45 derajat. Mendekati batas vegetasi, kemiringan kadang-kadang mencapai 70 derajat. Satu jam pendakian di kegelapan malam ini cukup menguras tenaga, hingga akhirnya sampai pada jalur landai punggungan gunung. Dari sini, paras Sang Dewi Anjani begitu cantik bermandikan cahaya gemintang.
Butuh waktu sekitar satu jam berjalan melalui jalur landai punggungan gunung selebar satu hingga dua meter dengan jurang di kiri kanannya. Kemudian, kami disambut tiga jalur ekstrem berkerikil dan debu dengan kemiringan 30, 40, dan 60 derajat hingga ke puncak. Penderitaan teramat sangat. Saat kaki dan napas butuh istirahat, maka suhu udara dingin menerpa. Seolah buah simalakama, terus bergerak tak kuat, berhenti malah kedinginan.
Tapi, bersamaan fajar menyingsing, senyum Sang Dewi Anjani yang kian dekat semakin merangsang. Sungguhku tak kuasa menahan gairah. Tak peduli berapa langkah penat kaki terseok, tak hirau betapa dingin angin menusuk tulang. Angan tuk merengkuh multiorgasme bersamamu akhirnya kuwujudkan seiring mentari mengintip nakal di pagi tanggal 17 Mei 2015. Rindu dendam Dewi Anjani terbayar tunai.
Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar
© backpackerindonesia.com