© backpackerindonesia.com
Pulau ini dinamakan pulau penyengat karena dahulu kala, ada seorang saudagar yang hendak singgah di pulau ini untuk mengambil air. Namun, begitu menginjakkan kaki di pulau ini, ia diserang ribuan lebah yang bersembunyi di pepohonan. Agaknya, dari sinilah nama ‘penyengat‘ itu berasal. Pulau ini terletak di propinsi Kepulauan Riau, dibandingkan pulau-pulau kecil lainnya di propinsi Kepri, pulau penyengat termasuk mudah dijangkau.
Dari bandara Hang Nadim Batam, saya naik taxi kira-kira 1 jam menuju pelabuhan Punggur, kemudian menyeberang ke pulau Bintan dengan kapal ferry selama kurang lebih 1 jam. Tiba di pulau Bintan, saya menuju ke Pelabuhan Sri Bintan Pura, kemudian menyeberang ke pulau penyengat dengan kapal motor kecil, mereka menyebutnya boat pompong selama kurang lebih 15 menit. Dan tibalah saya di pulau dengan sejuta sejarah perjuangan para pahlawan etnis Melayu ini.
Untuk mengelilingi pulau penyengat, ada beberapa pilihan yang bisa kita ambil, yaitu dengan bemor (becak motor) kapasitas 2 orang, atau sewa sepeda bagi yang hobi dan kuat gowes. Saya lebih memilih bemor karena niatan saya adalah liburan bukan berolahraga. Tidak ada mobil di pulau ini, karena itu jalanan di pulau ini pun sempit. Rumah-rumah penduduk kebanyakan adalah rumah panggung khas melayu dan jumlah penduduk sangat sedikit sehingga pulau ini terlihat sepi.
Untuk mengetahui sejarah pulau penyengat, terlalu mudah kita temukan melalui googling, tapi di sini saya lebih terkesan dengan cerita cinta yang tersisa dari sejarah pulau penyengat. Pulau ini dulunya adalah mahar atau mas kawin saat Sultan Mahmud menikahi Engku Puteri yang bernama asli Raja Hamidah. Sultan Mahmud dan Engku Putri sama-sama berjuang mempertahankan tanah Melayu melawan kolonialisme hingga wafatnya. Sultan Mahmud gugur dan dimakamkan di Singapura, sedangkan Engku Putri wafat di pulau penyengat dan adik ipar beliau (Raja Ali Haji) mendirikan sebuah istana untuk makam Engku Putri.
Di pulau ini juga tersimpan sejarah gurindam 12, puisi berima terpanjang dan terindah yang pernah saya baca. Gurindam ini digubah oleh Raja Ali Haji dan dipahat di dinding istana makam, mengelilingi makam Engku Putri. Sedangkan Raja Ali Haji sendiri dimakamkan di halaman istana makam Engku Putri. Sedikit mirip dengan kisah Taj Mahal menurut saya.
Selain istana makam, saya juga mengunjungi istana kantor. Istana ini dulu lebih berfungsi sebagai pusat administrasi dan gudang amunisi. Di istana kantor ini ada ruangan kamar mandi dengan kloset jongkok dengan ukuran yang besar sekali, diameternya saja hampir 1 meter. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana menggunakannya, dan berapa banyak pengguna kloset yang kecemplung saat menunaikan hajat saking besarnya ukuran kloset.
Perjalanan dilanjutkan ke Masjid Raya Sultan Riau. Sungguh beruntung saya berkunjung ke pulau ini di hari Jumat, karena di hari ini banyak sekali pengunjung dari berbagai pulau untuk shalat Jumat di masjid ini. Dan saat itu kebetulan juga Bapak Hidayat Nurwahid, mantan ketua MPR, menunaikan shalat jumat di masjid ini. Saat mengumumkan jumlah infaq Jum’at, saya baru tahu bahwa di pulau Penyengat ini berlaku tiga mata uang, yaitu rupiah, ringgit, dan dolar Singapura.
Karena bertepatan dengan shalat Jumat dan masjid penuh, saya memutuskan mengunjungi benteng di atas bukit di balik masjid dulu baru kemudian kembali ke masjid setelah bubaran shalat Jumat. Baru beberapa langkah, ada panggilan dengan bahasa Melayu dari sebuah rumah, mengajak mampir singgah minum di rumahnya. Ternyata di pulau ini tidak diperbolehkan berjalan-jalan di luar rumah saat terdengar adzan atau tadarus dari masjid. Sumpah, kagum banget sama ketaatan mereka.
Di rumah penduduk ini saya disuguhi teh tarik dan kue deram-deram (sejenis donat seukuran bola kelereng) sambil mengobrol dengan nyonya rumah menunggu selesainya shalat Jumat. Kemudian bersama beliau dan suaminya sebagai guide dadakan, saya memasuki masjid yang sudah sepi. Interior masjid ini cantik sekali, sodara! Sayangnya, tidak diperbolehkan memotret di dalam masjid. Masjid ini memiliki 17 kubah, sesuai dengan jumlah rakaat shalat dalam satu hari. Sejarahnya, masjid ini dibangun dengan menggunakan campuran putih telur untuk memperkuat dinding kubah, menara, dan bagian lainnya. Konon, dibutuhkan telur berkapal-kapal untuk mendirikan masjid ini. Sedangkan kuning telurnya dipakai untuk mewarnai dinding dan kubah masjid. Saya membayangkan, berapa bisul yang akan tumbuh jika telur sebanyak itu saya makan. Pada saat itu, masjid baru saja mengalami renovasi, dan di halaman belakang masjid saya menemukan beberapa drum cat Nippon paint berwarna kuning, sekuning dinding masjid. Lhah, katanya pake kuning telor? Ga jadi?
Puas mengelilingi masjid, saya diantar guide dadakan mendaki bukit untuk melihat benteng di puncaknya. Jika anda tidak terbiasa mendaki, saya sarankan untuk tidak memaksakan diri, karena trekking bukit ini lumayan berat dan butuh stamina ekstra. Dengan susah payah akhirnya saya bisa juga mencapai puncak bukit. Benteng ini merupakan tanah lapang di puncak bukit, dikelilingi oleh parit untuk menghindari serbuan musuh. Di setiap sudut tanah lapang ini terpasang 2 meriam cannon yang menghadap ke pantai batasan pulau. Melihat kondisi benteng ini, saya jadi sangat mengerti mengapa kita dulu kalah perang. Tembakan meriam cannon paling jauh hanya menjangkau pesisir pantai, dan diharapkan bisa menghancurkan kapal musuh yang merapat di pantai. Tapi posisi benteng yang terbuka memungkinkan pejuang melayu terlihat oleh musuh jauh sebelum kapal mereka merapat di pantai, dan jika mereka punya meriam cannon yang lebih canggih di atas kapalnya, pejuang melayu sudah hancur duluan sebelum kapal musuh sempat merapat.
Puas menikmati benteng, kami turun dari bukit dan tuan rumah menawari makan siang di rumahnya. Menunya otak-otak ikan dan soto ayam, tapi berbeda dengan di jawa, soto ayam di sini tidak disantap dengan nasi atau lontong, melainkan dengan mie. Penduduk sini terbiasa menjamu turis, dan mereka senang sekali jika ada turis yang sampai mampir dan masuk ke rumahnya. Menjelang sore saya sudah kembali ke pelabuhan untuk kembali menyeberang ke Pulau Bintan, karena tidak ada penginapan di pulau penyengat. Hopefully, saya bisa kembali lagi ke pulau ini, someday….
Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar
© backpackerindonesia.com
pd. 10 Jan. 2016, 16.28
Saya juga baru mengunjungi penyengat kemarin. Pulau yang indah, tenang dan memiliki penginggalan bersejarah.
Sepertinya ada penginapan di penyengat mba.. kemarin2 sempat browsing google.
Balas Suka 0pd. 30 Mei 2014, 16.05
berkat postingan ini saya berhasil ke penyengat mbak. keren abis. walau badan basah dengan keringat, kaki gempor jalan naik turun bukit, tapi hati senang.
Balas Suka 0ane juga ketagihan dengan otak-otak nya. hahaha.