© backpackerindonesia.com
We are just married about 2 weeks ago, but unfortunately hebohnya persiapan pernikahan kami terpaksa harus menghabiskan jatah cuti suami. So, kami harus terima bulan madu di rumah aja. But it was a big surprise when rabu, 14 november 2012 suami pulang kantor and tell me a good news that Friday, 16 november kantornya libuuuurrrr! That means kita punya 4 hari free, karena kamis, 15 november tanggal merah 1 muharram, dan sabtu minggu memang hari libur semua umat beragama. So, we started to write an itinerary to spend the holiday. Ke luar pulau atau luar negeri jelas ga mungkin, suami belum ada paspor dan tiket pesawat dadakan pasti harganya di luar akal sehat.
Akhirnya kami memutuskan untuk ke Jogja! Awalnya kami mau cari paket tour aja, supaya lebih teratur segalanya. But, hey, it’s Jogja, not Paris, why not just go and let everything flow? Kamis, 15 november jam 6 pagi kami berangkat menuju terminal bungurasih, dengan harapan perjalanan surabaya-jogja will spend 6 hours, sesampai di jogja tengah hari dan kami bisa melihat tradisi jamasan pusaka di keraton. Apa daya, libur panjang membuat kami susah sekali mendapatkan bus, akhirnya dengan penuh perjuangan berebut bus, kami dapat bus jam 8.30. Tarif bus ini adalah 68ribu per orang, dengan fasilitas makan di RM Duta.
Sampai di jogja, jam 17.00, that means harapan kami untuk melihat tradisi tahun baru suro di keraton pupus sudah. Di terminal giwangan seorang tukang becak menawarkan mengantarkan kami ke hotel dengan tarif 15ribu rupiah. Okelah, harganya cukup masuk akal. Ternyata tukang becak ini memaksa kami untuk menginap di hotel yang jauh dari malioboro, sepertinya ada kerjasama antara hotel ini dengan para tukang becak, terbukti semua tukang becak di sekitar terminal memaksa kami menginap di hotel ini. Kami bersikeras ingin menginap di malioboro, dia bersedia mengantar, tapi dengan tarif 30ribu rupiah. Walaaahhhh....
Akhirnya kami memutuskan menggunakan bus trans yogya, dengan tarif 3ribu rupiah per orang. Setelah membeli tiket dan masuk ke dalam halte, petugas halte memberi tahu kami bahwa perjalanan Giwangan-Malioboro akan memakan waktu kurang lebih 2 jam. Whaaattt? Nenek lu kiper??? Kita ke sini mau liburan, bukan mau tua di bus.
Akhirnya kami keluar halte melalui emergency exit. Kami berjalan kaki sambil terus berpikir bagaimana caranya kami bisa mencapai malioboro dengan cepat dan harga yang masuk akal. Puluhan tukang becak, ojek, dan taxi yang menawari kami, tapi semua tarifnya ga ada yang masuk akal. And finally, kami menemukan taxi Vetri, yang mau mengantar kami ke Malioboro dengan tarif sesuai argo. Thanks, God...
Sopir taxi ini bagaikan malaikat. Beliau menunjukkan tempat2 yang kami rencana ingin kunjungi, seperti Gazebo Garden Cafe, dan oseng2 mercon. Bukan itu saja, beliau juga memberi kami peta Jogja, gratis! May Allah bless him. Giwangan – Maliboro dengan taxi argo, tarifnya 30ribu rupiah saja.
Kami tiba di malioboro pukul 18.00, dan yang kami lakukan selanjutnya adalah, gerak jalan hunting hotel. Daaaaannnn, it’s sooooo HARD! Libur panjang membuat hotel di daerah malioboro full booked. Mulai dari hotel kelas backpacker sampai sekelas Ibis. Awraaaaiiiittt, haruskah kami menghabiskan malam beralaskan tikar di lapangan depan keraton? Setengah jam kami berjalan kaki, dan entah sudah berapa puluh hotel yang menolak kami. Ga terasa, kami berjalan kaki sampai di kawasan Pasar Kembang, awalnya saya ga tau ini daerah apaan, sampai seorang tukang becak mendatangi kami dan menawarkan kami penginapan. Begini bahasanya “ada kamar, mas, tapi nggak bisa berdua sama mbaknya, nanti mas saya kasih kamar sendiri, mbaknya tidur di dapur, tapi penginapan ini campur dengan cewek2 kerja”. Saya ga mudeng dengan kalimat tukang becak ini, tapi saya heran kenapa suami menolak tawarannya dengan nada marah. Setelah menjauh, baru suami menjelaskan maksud kalimat tadi. Ya ampyuuuunnnn, ternyata kami baru saja ditawari menginap di wisma lokalisasi. Sayang sekali suami saya menolak, kalau engga kan saya bisa nyambi jadi mami dadakan di wisma tersebut, itung2 nambah uang saku trip.
Kami melanjutkan jalan kaki kami. Dengkul saya mulai migrain, dan pundak saya mulai mati rasa akibat backpack yang makin lama kok rasanya jadi makin berat. Yang tadinya kami hanya menyusuri jalan raya Sosrowijayan, kali ini kami menyusuri gang2 kecil di kanan kiri jl.Sosrowijayan. Thanks, God, akhirnya kami menemukan Hotel Gloria Amanda. Hanya tinggal 1 kamar, itupun dengan twin single bed, bukan double bed. Ga masalah! Yang penting kami ga harus nongkrong semaleman di Mekdi yang buka 24 jam, atau yang lebih parah lagi, nongkrong di trotoar malioboro bergabung dengan anak2 punk yang ngisep cimeng KW2.
Tarif hotel ini 325ribu semalam. Sama sekali bukan tarif backpacker, tapi ya sudahlah, salah kami juga yang ga mengantisipasi booking hotel online. Masuk kamar hotel, kami ga langsung istirahat, melainkan mandi, dan menyiapkan daypack untuk kemudian langsung jalan.
Target pertama kami adalah menonton sendratari di Gazebo Garden Cafe. Ini adalah sebuah cafe outdoor dengan hidangan buffet dan suguhan tari Ramayana. Sedikit informasi, Ramayana Ballet ini memenangkan Rekor MURI pada tahun 2001 sebagai Sendratari terbaik di Yogyakarta yang telah tampil setiap malam selama 29 tahun tanpa pernah berhenti.
Dari malioboro, kami naik becak dengan tarif 20ribu menuju Purawisata, jl.Brigjen Katamso, tempat Gazebo Garden Cafe. Sesampai di sana, ternyata sedang ada resepsi pernikahan, sehingga kapasitas cafe berkurang hingga separuh, dan tarian dipindah ke panggung belakang. Harga buffet dinner per orang nya adalah 120ribu rupiah, sedangkan menonton sendratari adalah 170ribu rupiah untuk turis asing, dan 70ribu rupiah untuk domestik. Jadi kami harus membayar 190ribu per orang untuk dinner dan menonton sendratari. Unfortunately, buffet dinner sudah fully booked, jadi kami hanya bayar 70ribu saja untuk menonton sendratari, itu sudah termasuk fasilitas air mineral sebotol per orang dan brosur yang menceritakan kisah Ramayana. Pementasan sendratari dimulai pukul 20.00-22.00.
Saya memang sangat menyukai menonton kesenian tradisional, apalagi cerita Ramayana buat saya sangat indah dan romantis. So, ga nyesel deh, nonton sendratari ini, meski kami terpaksa harus kelaparan because of it.
Jam 10 malam pertunjukan selesai. Kami memutuskan untuk wisata kuliner Oseng2 mercon sebagai makan malam yang terlambat. Oseng2 mercon ini terletak di jl.Ahmad Dahlan. Sepanjang jalan banyak sekali lesehan yang menjual oseng2 mercon, tapi yang asli adalah yang paling ujung, dan tertulis di tendanya, no.1. sayangnya, tukang becak kami ga tau itu, sehingga kami makan oseng mercon bukan yang asli. Ibaratnya kalo yang asli itu mercon “srengdor”, yang kami makan saat itu cukup “kembang tetes” aja, tapi enak juga sih, luar biasa pedes, dan lumayan bikin sakit perut besoknya, hehehe....
Jam 11 malam kami melanjutkan perjalanan ke alun2 beringin, yaitu alun2 yang terdapat pohon beringin kembarnya. Di sana kami naik odong2 dengan tarif 20ribu sekali putaran, sebenarnya saya juga ingin naik sepeda tandem, tapi suami menolak, mungkin karena capek. Kami juga mencoba berjalan dengan mata tertutup melewati beringin kembar. Saya sangat menikmati saat2 ini, serius, it was so fun time for us.
Jam 12 malam diantar tukang becak kami kembali ke malioboro. Untuk perjalanan purawisata – oseng2 mercon – alun2 beringin – malioboro, kami membayar 50ribu pada tukang becak tersebut. Kenapa semahal itu? Perasaan dunk, men, tuh tukang becak nggenjot sejauh itu bawa dua makhluk, yang satu atletis, yang satu lagi siluman gajah afrika. Worth it lah harga segitu...
Kami tidak langsung menuju hotel, tapi kembali menyusuri jalanan malioboro. Bukan untuk belanja, karena jam segitu malioboro pun sudah tutup, tinggal segelintir tukang sapu dan sekelompok anak punk yang pura2 mabok padahal cuma minum es teh doang. Kami mencari hotel untuk esok, karena hotel yang kami tempati saat ini besok sudah fully booked juga.
2 jam kami berjalan kaki, selain lelah, kami juga lapar. Kalori makan malam tadi sudah habis karena kami berjalan kaki terlalu jauh. Karena pada jam 2 pagi satu-satunya makanan yang available hanya mekdi, terpaksalah kami makan malam kedua di mekdi. Gak mutu banget kan, jauh2 ke jogja makan di mekdi.
Di tengah makan malam saya memutuskan untuk googling hotel di sekitaran candi prambanan dan booking malam itu juga by phone, dapat! Setelah makan kami pulang ke hotel dengan tenang, karena hotel untuk besok telah tersedia.
Jumat, 16 november rencananya pagi kami akan pergi ke keraton, tapi apa daya, kelelahan akibat gerak jalan semalaman mengakibatkan kami tidur lagi setelah breakfast di hotel. Jam 11 siang kami pergi ke masjid karena suami harus menunaikan sholat jumat, setelah itu kami berjalan kaki mencari tiket ke stasiun tugu. Apes, tiket kereta habis sampai dengan hari minggu, itu berarti kami harus pulang dengan bus lagi. Dari stasiun kami menuju Gudeg Yu Djum untuk makan siang, lalu kembali ke hotel untuk check out dan melanjutkan perjalanan kami ke keraton dan taman sari.
Pada saat check out, petugas front desk memberitahu bahwa ada cancel untuk boking kamar pada hari itu. Kalo ga inget sudah menikah, bisa2 saya lamar tuh petugas saking gembiranya saya. Akhirnya kami pindah ke kamar tersebut setelah menelepon hotel Prambanan Inn untuk membatalkan booking. Jadilah kami tinggal semalam lagi di hotel Gloria Amanda.
Begitu masuk kamar, alih2 meletakkan barang dan jalan ke keraton, yang ada kami langsung molor lagi. Jalan kaki semalam benar2 menguras energi kami. Menjelang sore kami baru bangun dan memaksakan diri untuk jalan, karena rugi banget jauh2 ke jogja hanya untuk pindah tidur.
Kami berencana belanja oleh2 bakpia dan kawan2nya di daerah pathuk. Tarif becak malioboro – Pathuk sebenarnya 15 ribu PP, tapi ternyata tukang becak di sana hanya mau mengantar kami ke bakpia 25, selain bakpia 25 mereka hanya mau mengantar jika kami menambah 10ribu PP. Karena kami penasaran dengan Bakpia Djava, maka kami memilih membayar 25 ribu PP malioboro – Bakpia Djava, bukan Bakpia 25. Bakpia Djava ada beraneka rasa, mulai dari bakpia coklat, bakpia keju, durian, strawberry, nanas, blueberry, dan lain2. Harga satu kotak bakpia kacang 25ribu, sedangkan bakpia rasa2 35ribu. Selain bakpia ada juga geplak, yangko, dan gethuk khas Jogja, tapi saya sarankan selain bakpia jangan belanja di Bakpia Djava, karena harganya lebih mahal dan rasanya kurang enak dibandingkan produk Bakpia 25.
Kembali ke malioboro, kami langsung ke hotel untuk meletakkan oleh2 dan melanjutkan perjalanan. Tujuan kami saat itu adalah belanja oleh2 di Mirota. Kami berangkat dari hotel pukul 19.00, dengan perkiraan 1 jam perjalanan. Apa daya, pesona musisi jalanan di sepanjang malioboro sering sekali membuat langkah kami terhenti. Tiba di mirota jam 9 malam kurang beberapa menit, padahal mirota hanya buka sampai jam 9 saja, kecuali malam minggu karena ada kabaret show di lantai atas. Sumpah, ga puas banget belanja di mirota saat itu.
Setelah dari mirota, saya ingin makan malam nasi kucing di angkringan. Tapi setelah melihat kondisi angkringan yang beda jauh dengan angkringan Jogja yang pernah saya lihat di luar kota ataupun luar negeri, males wes..., dan karena sudah ga ada lagi tempat makan yang buka di jam segitu, akhirnya kami makan malam di....... pizza hut. Once again, kenapa pula jauh2 ke jogja kalo cuma makan pizza?
Setelah makan malam, kami kembali ke hotel untuk istirahat. Sabtu, 17 November, setelah breakfast di hotel, tepat jam 10 pagi kami check out. Tapi kami menitipkan barang2 kami di resepsionis, karena kami berencana mengunjungi candi prambanan yang pastinya bakalan repot kalo harus bawa gembolan sebanyak itu ke mana2.
Dari malioboro, kami naik bus trans yogya jalur 1A, 3ribu rupiah per orang. Kira2 2 jam kemudian kami tiba di candi prambanan. Kami membeli tiket terusan candi prambanan – ratu boko, seharga 45ribu per orang. Selanjutnya kami menuju candi ratu boko menggunakan shuttle bus. Perjalanan candi prambanan ke candi ratu boko kira2 15 menit. Sesampai di candi ratu boko, Subhanallah, sungguh, saya bener2 ga nyangka ada istana yang begitu indahnya. Benar kata suami saya, istana Ratu Boko sebanding dengan istana Ratu Balqis. Untuk lebih jelasnya tentang istana ratu boko, cek this out yah http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/candi/ratu-boko/ .
Setelah mengeksplor istana ratu boko, kami kembali dijemput shuttle bus yang membawa kami kembali candi prambanan. Berbeda dengan terakhir saya mengunjungi candi prambanan, about 2009, banyak sekali perubahan di candi ini.
Yang pertama, di pintu masuk kami diberi sarung batik untuk dililitkan di pinggang, persis seperti kalau kita berkunjung ke pura ulu watu di bali. Memang candi prambanan pun bercorak hindu sama seperti pura ulu watu, tapi bukankah esensi dari sarung itu adalah karena kita memasuki tempat ibadah/tempat suci agama hindu, sedangkan candi bukanlah tempat ibadah, tapi hanya petilasan kerajaan hindu. Ah tauk ah, ntar kalo saya salah ya maaf, kan ga tau.
Perbedaan kedua, saat ini banyak sekali bagian2 candi yang sudah hancur akibat gempa tektonik yang melanda jogja beberapa kali. Bahkan candi utama prambanan pun telah retak memanjang dari puncak ke bawah, sehingga untuk masuk ke candi utama kami diwajibkan memakai helm proyek, itupun tidak boleh lebih dari 50 pengunjung yang naik ke candi utama. Itupun banyak bagian2 candi utama yang dipasang rantai untuk melarang pengunjung masuk, terutama bagian yang mengalami retak yang paling parah.
Perbedaan ketiga, dahulu ruangan2 berisi patung dewa dewi diberi lampu sehingga kita bisa melihat wujud patung tersebut. Kini ruangan2 itu dibiarkan gelap, dan untuk bisa melihat wujud patung dewa dewi tersebut hanya bisa mengandalkan HP yang ada senternya atau blitz kamera yang hanya setengah detik itu. Di sinilah ada kejadian, setelah memotret suami di ruangan patung dewi Durga, di tangga turun ada serombongan pengunjung yang bertanya, apa yang di atas itu adalah patung Dewi Roro Jonggrang, dan kami jawab, bukan, itu patung Dewi Durga. Setelah kami keluar dari kompleks candi prambanan, kami melihat hasil foto2 di kamera kami, dan betapa kagetnya melihat patung Dewi Durga ternyata adalah patung putri bertangan delapan, berarti dialah Sang Roro Jonggrang. Haduh, kegelapan membuat malu! Untungnya kami ga bertemu lagi dengan pengunjung tersebut.
Explorasi candi prambanan ini berakhir tepat pukul 6 sore, bersamaan dengan ditutupnya jam wisata di candi prambanan, berakhir pula lah trip kami. Dengan menumpang bus trans yogya kami kembali ke hotel untuk mengambil barang2 dan kembali lagi ke halte trans yogya untuk naik bus jalur 3A yang membawa kami ke stasiun giwangan dan kembali ke surabaya.
Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar
© backpackerindonesia.com