© backpackerindonesia.com
Anak Gunung Menjelajah Laut
[Bagian 1 dari empat tulisan]
Oleh Farid Gaban | zamrud-khatulistiwa.or.id
“Saya bukan anak yang tumbuh dan dekat dengan laut,” kata Ahmad Yunus. “Gambaran laut dalam benak saya selalu menakutkan. Dunia yang penuh mitos dan kegetiran.”
Seperti Yunus, saya juga bukan anak laut. Yunus lahir di kaki Gunung Tangkuban Prahu, Bandung, pada 1981. Saya lahir di Wonosobo, lereng Gunung Sindoro, Jawa Tengah, dua puluh tahun sebelum Yunus. Bayangan saya tentang laut juga penuh dengan cerita magis yang populer di Jawa, tentang Laut Selatan yang ganas dan tempat bersemayam tokoh misterius Nyai Roro Kidul. Atau kisah tragis perburuan ikan paus dalam novel “Moby Dick” karya Herman Meville.
Tak terbayangkan jika kemudian kami berdua, saya dan Yunus, bisa mengarungi lebih 10.000 kilometer perjalanan keliling kepulauan Indonesia, selama hampir setahun penuh (2009-2010), yang sebagian besar waktu di antaranya melintasi laut.
Kami bersepeda motor menyusuri pesisir pulau-pulau besar Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Kami menaikkan motor ke feri, kapal perintis atau perahu kayu nelayan mengunjungi 40 gugus kepulauan yang tersebar di empat penjuru, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote.
Terbukti laut, dan pulau-pulau terpencil, tidaklah menakutkan. Bahkan menyenangkan. Perjalanan kami adalah kombinasi antara petualangan di alam; kesenangan menikmati segala yang indah meski sederhana; perjalanan jurnalistik karena kami berdua wartawan; serta pembelajaran tentang hidup di laut dan pulau-pulau yang kami rasa tak mungkin diperoleh dari buku, perpustakaan atau bangku kuliah.
Di beberapa rute panjang kami naik feri yang bisa memuat mobil dan motor; atau naik kapal perintis, yakni kapal swasta yang disubsidi negara untuk melayani rute ke pulau-pulau terpencil dengan atau tanpa penumpang; atau naik kapal besar milik Pelni yang bisa mengangkut ratusan orang.
Tidak selalu menyenangkan mengingat layanan angkutan umum negeri kita termasuk primitif, tidak di darat tapi di laut juga. Kadang kapal terlalu penuh sehingga kami harus tidur berhari-hari di bawah tangga, atau di sekoci, atau berjejalan di geladak yang pengap dengan bau keringat, muntah dan toilet yang mampet. Salah satu perjalanan paling menyiksa adalah 10 hari pelayaran dari Bandaneira ke Merauke.
Martabat dan harga diri kami seperti dirampok jika naik kapal-kapal angkutan seperti itu. Namun, kami tidak sendirian dan mungkin justru itulah seninya. “Separoh kesenangan dalam perjalanan,” kata Ray Bradbury, penulis novel misteri dan fiksi-sains Amerika, “adalah menikmati indahnya tersesat.” Dan salah satu manifestasi tersesat adalah ketika diri kita lebur dalam ketiadaan. Perjalanan hanya bisa kita nikmati, dan barangkali lebih bermakna, jika kita mampu melenyapkan diri. Lebur. Hilang. Tidak menjadi siapa-siapa.
Di rute-rute pendek, kami menaikkan sepeda motor ke kapal dan perahu yang lebih kecil. Kami naik kapal kayu angkutan antar pulau, metromini di laut, mengarungi ombak yang lumayan ganas di Kepulauan Mentawai misalnya. Agak khawatir setiap kali kapal diangkat ombak dan dijatuhkan ke lembahnya dengan kedengaran bunyi “Krak!” dari lambungnya. Satu-satunya yang menghibur, kami tidak sendirian. Ada puluhan penumpang anak-anak dan perempuan di kapal itu.
Melintasi Selat Malaka yang sibuk kami naik kapal pengangkut sayur, beras dan buah-buahan, dalam perjalanan dari Dumai ke Batam. Kami tidur di atas tumpukan rotan dalam perjalanan Mentawai-Padang, atau di atas timbunan karung jagung dalam pelayaran di Teluk Tomini, Sulawesi, atau tidur sebelah-menyebelah dengan ikan hasil tangkapan di perairan Kepulauan Karimata dan di Kepulauan Talaud dalam perjalanan menuju Miangas.
Naik kapal-kapal kecil lebih menyenangkan karena kami bisa mengenal lebih dekat kehidupan pelaut dan nelayan, petualang-petualang sejati. Dan kami bersyukur, meski ini merupakan pelayaran maraton panjang pertama kali di laut, kami tak pernah mabuk laut atau muntah, sehingga selalu bisa menikmati perjalanan.
Jika laut tenang dan langit cerah kami bisa menyantap terbit dan tenggelamnya matahari dalam pemandangan yang paling mencengangkan. Langit seperti kanvas penuh warna. Sementara di siang yang terik, warna gradasi laut jernih, dari biru gelap ke tosca ke biru muda, tergantung kedalaman laut dan kedekatan dengan pulau, mengenyahkan rasa panas dan gerah keringat bercampur garam di kulit.
Jika langit mendung, atau bahkan sedikit berbadai, kami tetap bisa menemukan hiburan lain: menonton ikan terbang (Exocoetidae), yang seperti puluhan anak panah melesat ke berbagai arah dari lambung kapal yang kami tumpangi. Ikan-ikan kecil ini bisa terbang sejauh 200 meter. Kadang, jika beruntung, kami juga bisa menikmati tarian lumba-lumba di laut lepas, di bawah lengkung pelangi di cakrawala, ketika cahaya penuh warna berpendar akibat butiran air hujan.
Bahkan malam di laut juga menyenangkan. Jika langit cerah, saya lebih suka naik ke atap kapal, menyelinap ke dalam kantong tidur yang hangat sambil menengadah menikmati kerlip bintang, galaksi dan meteor, sampai tertidur. Kerlip bintang jarang bisa saya nikmati selama bertahun-tahun tinggal di Jakarta. Dari nelayan, kami juga sedikit belajar membaca bintang di langit. Meski kini ada alat digital canggih seperti Global Positioning System (GPS), navigasi laut nelayan di kepulauan kita masih mengandalkan posisi bintang-bintang di langit sebagai petunjuk arah.
Tak hanya di permukaan air laut. Kami menemukan keasyikan menyaksikan keindahan bawah laut, baik dengan sekadar berenang di permukaan maupun menyelam. Indonesia adalah negeri terpenting dalam Kawasan Segitiga Terumbu Karang, The Coral Triangle. Inilah kawasan dengan kekayaan taman laut terindah, serta kekayaan hayati koral dan fauna laut paling beragam di dunia.
Sebelum berangkat berkeliling, saya mengambil kursus menyelam untuk mendapatkan sertifikat internasional, satu syarat untuk bisa menyewa peralatan selam, atau scuba, di berbagai pulau. Berbekal sertifikat, scuba sewaan dan kamera bawah air, saya mengabadikan gambar dan video bawah laut di kawasan terumbu karang terindah: Pulau Weh (Aceh), Talabonerate, Wakatobi dan Togean (Sulawesi), Labuhan Bajo (Pulau Komodo, Flores) dan tentu saja Raja Ampat (Papua).
Tak pernah bosan kami menikmati keanggunan taman-taman bawah laut itu, seraya berburu gambar penyu, ikan manta, kawanan ikan barakuda atau lanskap koral lunak maupun keras. Tiap tempat selalu menyediakan kejutan baik melalui warna maupun bentuk koralnya. Menyelam di kedalaman 20-30 meter, menyusuri dinding terjal tubir laut yang tak terlihat dasarnya, di Derawan (Kalimantan Timur) dan Kepulauan Banda (Maluku), bukan ketakutan yang saya rasakan. Melainkan kesenangan dan rasa syukur yang besar bisa menikmati karya agung alam Indonesia ini.
Beberapa pulau terpencil, seperti Karimata atau Mentawai, tidak menyediakan tempat penyewaan alat selam. Tapi, gairah untuk menikmati karang begitu besar sehingga beberapa kali saya nekad menyelam dengan oksigen yang dipasok dari kompresor tambal ban—peralatan sederhana yang biasa dipakai nelayan-nelayan setempat untuk menyelam memasang bubu atau mencari teripang dan mutiara.
Menyelam dengan kompresor bisa sangat berisiko. Nelayan di beberapa pulau mengenal istilah “janda kompresor”, yakni perempuan-perempuan yang ditinggal mati lelakinya akibat menyelam dengan peralatan sederhana itu. Tapi, sebenarnya bukan kompresor itu sendiri yang berbahaya, melainkan teknik penyelaman yang tidak sesuai aturan.
Salah satu ancaman menyelam adalah mengalami dekompresi, yakni terciptanya gelembung gas di dalam tubuh. Gelembung akan membesar bersama berkurangnya tekanan air laut ketika kita naik ke permukaan, dan bisa mendesak pembuluh darah, sistem saraf atau otak. Orang bisa lumpuh, pingsan atau bahkan mati seketika. Risiko dekompresi bisa dikurangi dengan mematuhi aturan menyelam sesuai teori: tak boleh terlalu lama di air, tak boleh terlalu cepat naik ke permukaan, dan tak boleh terlalu sering menyelam, harus ada cukup waktu jeda antara satu penyelaman dengan penyelaman berikutnya.
Tapi, bagi banyak nelayan di pulau terpencil, menyelam seringkali merupakan satu-satunya jenis pekerjaan yang tersedia untuk cepat menghasilkan uang. Sementara itu, mereka terlalu miskin untuk memiliki peralatan memadai atau berlajar pengetahuan yang memadai tentang teknik penyelaman.
Kami banyak bertemu dengan anak-anak muda, dalam usia produktif, yang sudah lumpuh karena menyelam dengan kompresor. Di Sikakap, Kepulauan Mentawai, saya bertemu seorang remaja yang sudah menyelam lagi padahal baru dua pekan sebelumnya sang ayah meninggal di dalam air. Tapi, itulah salah satu realitas hidup nelayan. ***
(Bagian 2: Petualangan Jurnalistik)
Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar
© backpackerindonesia.com
pd. 20 Feb. 2011, 0.17
salam kenal, bandil jakarta, hebat euy jempol, aku salut, tapi boleh dong ajarin latihan nyelamnya untuk sesama backpack tengkyu
Balas Suka 0pd. 9 Feb. 2011, 10.46
Bagus bgt :)
Balas Suka 0trims sdh berbagi cerita perjalanannya
pd. 4 Feb. 2011, 16.44
TOP BGT...Mantabh... 4 jempol deh bro...
Balas Suka 0pd. 31 Jan. 2011, 23.03
waoo bravo!!!
Balas Suka 0