© backpackerindonesia.com
Setiap trip, selalu mempunyai cerita sendiri. Tidak selamanya trip itu menyenangkan, walaupun harusnya menyenangkan. Baru kali ini saya merasa bersalah diawal, disepanjang dan diakhir trip yang saya ikuti.
Sebenarnya sudah lama tanggal itu kami incar. Rasanya bakal menyenangkan kalau kami sempat menyaksikan peristiwa sakral tersebut. Tidak ada niatan apapun, hanya sekedar ingin tahu seperti apa perayaan Waisak di Borobudur. Tapi diantara niat dan tidak, maka kamipun tidak berniat mencari tiket dan tetap memantau link-link backpacker yang menawarkan trip kesana.
Karena tidak niat itulah, kami ketinggalan trip yang kami incar. TS bilang sudah penuh, dan kami hanya bisa menerima kabar tersebut dengan lapang dada. Dengan pikiran-pikiran yang kami bangun untuk menenangkan diri dan tidak mungkin memesan tiket yang tinggal 2 minggu acara dan malas mencari trip waisak dari TS yang lain, maka kami beralih ke trip yang lain.
Tujuannya adalah Gunung Pangrango. Sudah bayar dan sudah konfirmasi ikut ke panitia. Segala persiapan sudah disiapkan, sampai berita itu datang, menggugah impian yang dipaksa tidur. TS trip waisak menghubungi pagi, Jumat 24 Mei 2013 dan mengabarkan masih ada 2 seat kosong. Bagi saya, itu suatu dilema dan sekaligus pertanda.
Dilema itu sudah ada sejak 1 minggu sebelum memutuskan ke Pangrango. Sejak dari Semeru awal bulan, kondisi badan masih belum pulih benar. Dan beberapa sudah menyarankan jangan naik dulu. Mendapat kabar dipagi itu membuat saya berpikir bahwa kami memang harus kesana. Setelah menghubungi teman, kami putuskan untuk mentransfer DP dan membatalkan trip Pangrango.
Rasa bersalah mulai menyapa satu persatu. Rasa bersalah karena membatalkan ke Pangrango tidak bisa saya hindari. Rasa bersalah terhadap satu teman yang tidak bisa ikut ke waisak dan lebih merasa bersalah setelah membaca suatu artikel tentang waisak di Borobudur. Setelah membaca artikel tersebut, saya jadi merasa salah mengikuti trip ini.
Jumat sore itu macet seperti biasa. Kami berangkat ke Grogol untuk naik bis kea rah Kampung Rambutan sesuai dengan tempat berkumpul yang sudah ditetapkan. Yang akhirnya kami memilih taksi karena bis tak kunjung lewat. Pukul 22.00 WIB bis mulai bergerak meninggalkan terminal Kampung Rambutan. Rencananya setibanya di Yogyakarta, rombongan ke Goa Pindul dan sungai Oyo. Baru sore menuju Borobudur. Akan tetapi karena keadaan jalan yang tidak bisa diprediksi, kami baru sampai di Yogyakarta pukul 14.30 WIB. Yang artinya tidak mungkin ke Goa Pindul dan Sungai Oyo siang itu. Rencana langsung ke Borobudur. Pukul 16.00 WIB kami berangkat, awan sudah mulai menghitam dan rintik hujan mulai turun perlahan.
Hujan masih mengiringi bis kami menembus kemacetan jalan Magelang malam itu. Kami tiba di Borobudur sekitar pukul 19.30 WIB dan rintik masih setia menemani. Cukup jauh kami berjalan kaki dan harus menembus pintu yang penuh dengan orang yang ingin masuk ke kawasan Candi Borobudur. Setelah kami berhasil masuk, kami segera menuju ke Candi. Karena kami melewati pintu 7, kami harus memutar untuk bisa masuk ke area Candi dimana perayaan Waisak diadakan.
Hujan yang mulai deras dimanfaatkan para penjaja payung dan jas hujan disekitar area candi. Begitu sampai, kami melihat begitu banyak orang yang memadati area perayaan. Sudah tidak ketahuan lagi mana yang umat, mana yang bukan. Kami mencari tempat yang agak jauh dari tempat parayaan dan berusaha berteduh, tapi gagal.
Disejauh mata memandang, yang terlihat orang berdiri maupun duduk dibawah mengenakan payung dan jas hujan. Ada pula fotografer yang sudah siap dengan tripod dan kamera yang dibungkus plastik agar terhindar dari hujan. Dengan menggunakan payung kecil, kami bertiga berusaha menyesuaikan keadaan demi menghindari hujan yang rasanya tidak mungkin.
Acara dimulai dengan beberapa sambutan dari tamu undangan. Para pengunjung sudah tidak sabar. Barisan dibelakang yang duduk mulai berteriak meminta bagian untuk duduk. Ada pula yang mulai berceloteh dengan ramainya. Bapak gubernur jateng sambutannya malah sekalian kampanye. “Apa sih ini?” dalam hati saya mulai bertanya.
Saat acara doa, tidak sedikit yang berkomentar. Tak perlu saya tuliskan apa komentar mereka yang tidak penting itu. Saya hanya merasa saat doa didaraskan, saya merasa tidak berhak disana saat itu. Sungguh tidak berhak. Acara itu harusnya penuh kedamaian, penuh sukacita. Sungguh pengen marah rasanya melihat pengunjung yang tidak tahu sopan santun.
Hujan yang deras terus mengguyur dan tidak ada tanda-tanda berhenti. Beberapa sudah mundur dari sekitar area perayaan. Kami pun mulai maju perlahan, ingin melihat dari dekat. Tapi begitu maju, saya melihat ditanah ditutup dengan karpet. Ah, jadi makin merasa bersalah karena pastilah karpet itu harusnya buat umat yang ingin merayakan waisak, tapi sudah dipenuhi pengunjung.
Saat doa sedang berlangsung, terdengar dari bhiksu atau pendoa (tidak terlihat) agar pengunjung memberi ruang untuk mereka memutari altar. Dimohon juga untuk tidak ke altar, dimohon untuk tidak mengambil foto, bunga dan terus dikatakan kalau acara belum selesai. Panitia juga meminta dengan sopan kepada pengunjung untuk memberi mereka ruang. Benar-benar pengen pulang saat itu, tidak mau mengganggu lagi. Tapi entah apa yang menahan kami tetap berada disana, menyaksikan dan jadi bagian dari peristiwa tersebut.
Karena cuaca tidak memungkinkan, maka lampion tidak diterbangkan malam itu. Dan reaksi para pengunjung sudah bisa ditebak. Teriakan huuuu mulai membahana. Sedih rasanya mendengar panitia meminta maaf dan menunggu 30 menit, apabila hujan reda, akan diterbangkan lampionnya. Sungguh, kalian tidak perlu meminta maaf, kamilah harusnya yang meminta maaf karena sudah mengganggu.
Kami bertiga akhirnya meninggalkan tempat pukul 22.30 WIB. Dengan hujan yang masih belum berhenti, pikiran saya dipenuhi dengan kesedihan. Saya merasa kalah, bersalah. Ini sungguh trip yang saya sesali. Hanya bisa berharap, tahun depan dan tahun-tahun berikutnya panitia menutup area Candi Borobudur saat perayaan Waisak.
Kami pulang hari Minggu, 26 mei 2013. Saat di bis, teman-teman ramai membicarakan kejadian semalam. Yang bikin saya sedih dan kesal, ada yang menganggap lucu saat biksu berdoa sambil meminta pengunjung untuk menghormati acara perayaan waisak semalam. Mereka tidak sadar kalau mereka sudah mengganggu acara ibadah mereka.
Tapi ada berita yang membuat saya senang, hari minggu malam, akhirnya mereka menerbangkan lampion. Senang rasanya mereka bisa melaksanakan serangkaian acara yang sudah mereka persiapkan jauh-jauh hari. Yang kecewa mendengar hal ini berarti mereka belum sadar sepenuhnya acara Waisak buat umat Budha. Semoga acara pelepasan lampion semalam tidak ada gangguan.
Kembali ke Jakarta, melihat beberapa ucapan “Selamat merayakan Waisak” membuat saya teringat peristiwa Sabtu malam di Borobudur. Mau tak mau rasa bersalah itu datang lagi, dan membuat saya bertanya “Apa kabar toleransi?”. Toleransi itu semakin tipis. Semoga masih ada hati yang mau sadar dan mengerti bahwa perbedaan itu indah dan bukan untuk dibeda-bedakan. Damai yang menipis terkikis oleh duka. Hanya maaf yang bisa kami ucapkan untuk umat budha yang kemaren kami ganggu di Borobudur.
Selamat merayakan Trisuci Waisak ke 2557, Tuhan memberkati :)
Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar
© backpackerindonesia.com
pd. 28 Mei 2013, 22.18
apalagi liat gambar ini nih rasanya gemes deh liat si mbak hot pants :voodoo: https://twitter.com/RinoAnugrawan/status/338563692725690368/photo/1
Balas Suka 0pd. 27 Mei 2013, 20.48
Jadi sedih baca blog ini, semoga lebih banyak yaa blog2 seperti ini, biar kita2 sbg backpavker g ngerusak esensi budaya sm toleransi di indonesia,,,,hiksss miris bgt,,,btw selamat waisak buat sodar
Balas Suka 0a2 kita umat Budha