© backpackerindonesia.com
“Tidak ada yang kebetulan di dunia ini” entah kenapa aku begitu larut dalam kutipan perkataan itu.
Yah, segala sesuatunya memang tidak ada yang serba kebetulan, semua memang serasa sudah diatur dengan begitu rapinya hingga terkadang kita merasa bahwa itu semua hanya sebuah kebetulan belaka dan pada faktanya tidak.
Percayalah tiap tindakan yang kita lakukan sekecil apapun akan merubah alunan melodi kehidupan dan akan merubah lagu hidup yang kita nyanyikan, semuanya terajut dalam satu kesatuan membuat sebuah rangkaian irama lagu yang pas, membentuk harmoni.
Begitu juga dengan diriku, akan aku ceritakan sebuah “kebetulan” yang akhirnya merubah orkestra hidup yang biasa aku mainkan.
Aku sama sekali tak pernah menyangka bahwa perasaan aneh di suatu siang yang begitu panas 1 tahun lalu akan merubah sikap dan pandanganku terhadap sesuatu.
siang itu, aku terjebak dalam sebuah ruangan kotak persegi 4, Ac ruangan itu mati, badan ini banjir penuh keringat, cukup pusing juga karena ada segelintir orang yang apatis tak peduli situasi terus saja dengan santai dan masa bodonya menghembuskan asap rokok, membuat ruangan itu seperti ruangan penyiksaan bagiku, siang itu adalah suatu siang yang biasa di Bulan Ramadhan, tapi ada desakan aneh di jiwa ini yang terus saja ngotot menyeruakan pendapatnya bahwa siang ini akan merubah siang-siang lainnya di sisa waktuku berjalan di tanah bumi ini.
Aku sudah bosan saat itu, tapi aku tidak mau menekan tombol log out di screen komputer, ada sesuatu yang memaksaku untuk menahan melakukan tindakan itu. bosan saja, aku sudah berjam-jam menghabiskan waktu bermain poker di facebook, browsing artikel sana-sini, dan ditambah dengan buruknya suasana warnet ini membuat ingin rasanya cepat-cepat aku keluar dan pergi pulang.
Tapi, aneh, yah aneh rasanya ada sisi damai lain yang aku rasasakan saat itu ditengah rasa ketidaknyamanan, dan hingga akhirnya ada pikiran baru tertanam dipikiranku, entah dari mana pikiran itu datang, begitu cepat, begitu tiba-tiba seperti lompatan kuantum atom.
Entah kenapa aku ingin membuka backpackerindonesia.com , ada sesuatu yang memaksaku untuk membuka situs tersebut, dan aku tidak bisa menahan perasaan itu, hingga akhirnya aku mulai menekan tuts keyboard membentuk rangkaian huruf dan akhirnya membentuk kata menjadi backpackerindonesia.com.
Aku melihat-lihat semua artikel disitus itu, mataku terpaku pada sebuah posting ajakan untuk kumpul di acara gathering national di Ranu Kumbolo. Aku tersenyum simpul, pikiranku mulai melayang ke masa kecil dulu. yah, kegiatan alam begitu sangat dekat dengan diriku saat itu, masih jelas dipikiranku kenangan-kenangan lalu, saat aku dan teman-teman kampungku pulang dari sekolah saat SD, kita semua berlari-lari sampai ke hutan belakang kampung, memanjat pohon, tertidur di padang alang-alang, bermain lempar lumpur di petak sawah yang baru digarap pak petani, memancing ikan kecil disungai berwarna kecoklatan, membantu warga desa memunguti buah-buah kecapi yang berserakan ditanah yang baru saja dipetik, di akhir kita dibayar meski hanya dengan Rp. 500 -Rp.1000 rupiah tapi saat betul-betul bahagia kita menerimanya, dan biasanya kita menghabiskan uang tersebut untuk menonton layar tancap di kampung sebelah atau kita terkadang hanya sekedar mencari burung dengan senjata ketapel. tidak ada yang begitu membanggakan saat itu selain membawa beberapa ekor burung dengan senjata ketapel melingkari leher.
Aku tak pikir panjang, aku harus ikut trip ini pikirku saat itu. sudah bosan aku melihat kehidupan perkotaan yang penuh dengan orang-orang yang tidak pernah puas akan kehidupannya. Aku butuh kembali ke alam.
Dan waktupun berputar dengan begitu cepatnya hingga memenjarakanku pada sebuah kondisi yang tak akan pernah terlupakan.
Pagi buta itu, udara dingin begitu kejam, 3 lapis baju yang aku kenakan sama sekali tak ada gunanya. Bibirku kaku beku, bicara saja aku harus paksakan kuat-kuat agar suara ini terdengar jelas. Tanganku, jangan tanyakan kondisinya, tapi karena kau memaksa, baiklah akan aku ceritakan. Kondisi tanganku tidak lebih baik dari kondisi bibirku, rasanya setiap pori-pori kulit telapak tanganku dihujani jarum, sakit sekali karena dingin, dan yang lebih parahnya hembusan angin kencang yang menghantam badan memperburuk itu semua 2 kali lipat.
Aku merogoh handphone dari kantong jaket untuk memeriksa sudah berapa jam kaki ini melangkah.Pukul 4 pagi, berarti aku sudah berjalan hampir 4 jam lamanya. Disini, aku terjebak di ketinggian 3.300-3,400 meter diatas permukaan laut.
Aku sendiri, sepi, hanya ada suara bisikan angin gunung yang memecahkan kesepian. aku terpisah jarak begitu jauh, orang diatasku mungkin sudah terpisah sejauh 200-250 meter begitu juga di bawahku.
Dan aku berbaring di atas tanah pasir Semeru, menatap langit diatas sana yang terlihat begitu sangat indahnya, bintang-bintang begitu terang, ada guratan cahaya terang kemerahan bekas lintasan komet atau bintang jatuh, bulan begitu terang bersinar, cahaya temaramnya menerangi semesta alam, malam itu galaksi bima sakti seperti tersenyum kepadaku dengan begitu puasnya, meringkan beban hati ini ini yang semenjak tadi terus berperang.
Ratusan kali pikiranku mengutuk diri ini, buat apa aku mendaki? capek, lelah, dingin, sepi. Kenapa harus mendaki? lebih baik dirumah, kasur hangat dan empuk ditemani segelas energen hangat kesuakaanku.
Aku masih mengingat balasan pesan dari Farradila tentang himbuan dia, aku tidak pernah mendaki gunung, bukit Iya.
“Grade semeru bukan untuk percobaan pemula” kata Dilla, orang yang sudah lalu lalang di dunia pergunungan, kambing gunung sebutanku untuk dia.
Tapi ratusan kali juga aku membantah, aku mendaki untuk menantang diri ini, mengetahui sejauh mana batas diri ini.
dan aku juga mendaki untuk seseorang yang mungkin dia sudah tidak peduli lagi dengan diri ini.
Pagi buta itu aku juga mengutuk kebodohan yang aku lakukan, aku salah bawa plastik, plastik yang aku masukan ternyata bukan plastik yang berisi makanan dan roti tapi hanya plastik yang isiniya cuma energen 2 bungkus dan 2 sachet madurasa. untung aku membawa minum 3 liter. Kelaparanlah aku.
Dan percayalah, saat itu adalah saat pertama kalinya aku merasakan begitu dekatnya aku dengan kematian dan begitu dekatnya pula aku dengan Tuhan. bibir ini meski kaku beku terus saja melantukan dzikir ke yang maha kuasa.
Fisik ini lelah, seperti berlari 500 meter dua etape tanpa jeda. aku masih ingat saat kaki melangkah di batas vegetasi Cemoro Tunggal aku mampu melakukan ritme 30 langkah lalu berhenti dan posisi badan tegak. Tapi, saat ini jangankan 30 langkah, 5 langkah break aku tak sanggup lagi, dan bukan berjalan lagi, tapi merayap akibat kemiringan yang ekstrim, dua telapak tanganku aku gunakan layaknya skop, aku hujamkan ke dalam pasir lalu aku tarik badan ini.
Nafasku memburu tidak beraturan, aku gunakan taktik miles stone. aku tidak “menarget puncak” tapi aku menarget, “sampai batu itu”, atau “sampai samping jurang itu”. Puncak Semeru tidak pernah terlihat.
hingga akhirnya aku tak sanggup lagi berjalan, lalu aku baringkan badan ini menghadap bintang-bintang dan aku pejamkan mata ini, mencoba mengatur nafas. Damai. Iya, Damai yang aku rasakan hasil dari perpaduan rasa letih, rasa dekat dengan kematian dan Tuhan serta rasa bahwa diri ini ini adalah bagian kecil dari alam. aku bagian dari alam semesta. kedamaian yang aku rasakan saat itu adalah rasa damai yang misterius, rasanya seperti masa kecil dulu, saat aku dipeluk oleh ibuku dengan begitu sangat lamanya. Damai dan hangat jiwa ini. rasa damainya terpatri dan terukir erat hingga saat ini.
Hingga sampai saatnya tiba, saat aku melangkahkan kaki terakhir menuju puncak, sekujur tubuhku bergetar hebat, kedua kelopak mataku basah, hingga sampai tidak mampu menampung lagi, aku meneteskan air mata, aku bersujud mencium tanah Mahameru, terima kasih Tuhan. Dan aku berubah jadi melankolis untuk saat itu.
Aku bangun dari posisi sujud saat itu, matahari mulai menyeruak, berkas sinar kuning keperakannya menyuntuh kulit wajahku, awan dibawah sana seperti samudra, yah, samudra diatas awan, aku terus beridiri menyaksikan matahari terbit, sesekali aku menoleh ke arah pendaki yang baru saja sampai puncak, mereka ada yang teriak, ada yang menangis haru, aku tersenyum melihatnya, yah, aku tahu perasaan yang mereka alami saat ini.
Aku sampai ke Jogja tepat 1 hari setelah sampai puncak. Di kostan aku bersih-bersih badan, saat membuka sepatu, ternyata ada begitu banyak pasir hitam semeru dan juga kerikil-kerikil kecil yang turut terbawa di dalam kantong celana dan sepatu. Aku kumpulkan mereka semua dalam sebuah kotak plastik kecil. setiap kali aku terkena kesusahan, mendapat masalah, pasti aku memandang kerikil dan pasir hitam yang aku letakan di meja belajar itu, lalu aku jadi tersenyum sendiri, belum sampai sesusah mendaki semeru dulu, dan semuannya pasti bisa diatasi, segala sesuatunya pasti bisa diselesaikan, asal kita bergerak tidak diam, asal kita mau melangkahkan kaki, asal kita mau meluangkan waktu untuk berbicara dengan Tuhan diatas sana.
Dan resmilah aku jadi anak gunung. Aku begitu terobsesi dengan gunung. Aku selalu merindukan suasanya, merindukan dinginnya, merindukan bunyi gesekan dedaunan, bunyi nafas yang terengah-engah, bunyi suara air minum yang diteguk, bunyi tawa canda kita para pendaki, bunyi angin gunung yang mendayu-dayu, bunyi suara tanah yang diinjak, bunyi suara sapaan petani/warga desa saat berpapasan dan wangi rerumputan di pagi buta yang begitu segarnya.
mungkin puisi dari Juan ini cocok menggambarkan semua itu, Mendaki judulnya.
Oh kamu tahu kenapa aku melarangmu naik gunung? Dan sekaligus menyarankanmu untuk naik gunung?
Naik gunung adalah sebuah saat dimana kamu merasakan lelah sekaligus ketenangan. iya, ketenangan dalam lelah. Kamu ingin segera pulang ketika sudah sampai disana, tapi sayangnya tidak akan bisa. dan ketika kamu pulang, kamu ingin kembali ke sana, tapi segala aktivitas yang ada akan menghalangimu ke sana.
Ketika kamu naik gunung selalu akan ada sesuatu yang kamu tinggalkan disana, sampah (sadar atau tidak sadar), air kencing dan kadang feses, jejak, serta perasaan.
Dan kamu akan selalu ingin kembali ke gunung, untuk kembali menemui perasaanmu yang tertinggal di sana. Tanpa pernah bisa kamu ambil lagi sebenarnya.
***************
Masih ingat dengan kebetulan yang menerpaku di bulan puasa saat siang dulu? dan kebetulan itu juga yang menghantarkan aku menemukan horizon yang baru berbeda. Membuatku masuk kedalam sebuah grup pecinta alam fakultas, Palmae, sebuah keluarga baru.
Dan waktu kembali menjebakku kali ini, aku terjebak dalam suatu sore di hari Jumat, aku berdiri, terjepit dalam bus kecil sumpek penuh manusia. Bus kecil ini melaju di Jalan menuju Wonosobo, aku dan kawan-kawan Palmae hendak mendaki gunung Sindoro tapi aku sendiri di bus ini, mereka menyusul nanti. Sindoro, gunung lainnya, ibu lainnya, dan cerita pendakian lainnya, cerita tentang kita di hadang jalan setapak yang berubah menjadi sungai, cerita tentang hujan bercanda dengan kita hingga semuanya basah sampai ke celana dalam.cerita tentang perjalanan hati lainnya.Tapi, aku tidak akan menceritakannya saat ini, di tulisan selanjutnya kawan. Bersabarlah…
Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar
© backpackerindonesia.com