© backpackerindonesia.com
Berawal dari keinginan saya untuk memperkenalkan pendakian gunung pada suami, dan dari semua gunung di jawa timur, pilihan saya jatuh pada gunung Ijen. Alasannya, karena ijen memiliki jalur pendakian yang cukup mudah untuk pemula.
Setelah dihitung2, cost untuk pendakian ijen berdua ternyata cukup mahaaaalll. Dengan estimasi BBM untuk 2 hari 500ribu, hotel 200ribu, makan minum, dan lain2, hasilnya bisa jadi untuk 1 kali pendakian kami menghabiskan cost 1,5juta untuk berdua. And i think, it's sooooo expensive. :bokek:
Maka mulailah kami berdua mencari2 paket pendakian ijen di google, ternyata yang termurah pun (tanpa menginap), 800ribu per orang. Waduuuhhh, masa iya sih, untuk mendaki saja i have to spend so much money? :stres:
Akhirnya, saya menemukan website www.backpackerindonesia.com, saya lihat di situ banyak sekali ajakan2 jalan, baik yang open trip maupun sharing cost. Lalu saya coba untuk bikin thread di forum BPI, dengan sistem sharing cost. :hore:
Awalnya, saya mengajak 6 orang, untuk memenuhi 1 unit mobil xenia, dan kalo bisa gantian setir dan patungan untuk BBM. Setelah dihitung2, jatuhnya per orang hanya 180ribuan. Jauh beda dengan ikut paket travel. Ternyata, dalam waktu 2 hari, kuota 6 orang langsung penuh, itupun masih banyak telepon dan SMS yang minta untuk ikutan. Dan mereka menyarankan supaya menambah armada, menambah kuota, dan lain2. Saya turuti, dengan menambah kuota menjadi 14 orang, dan membatalkan mengendarai sendiri, melainkan sewa mobil elf + driver. Dalam waktu seminggu, kuota 14 orang terpenuhi, dan itupun masih banyak permintaan lagi. Begitu terus berulang2, sampai akhirnya keputusan terakhir adalah saya menyewa 2 buah mobil, yaitu 1 unit elf long 19 seat, dan 1 unit travello 11 seat. :capek:
Hari Sabtu, 17 Agustus 2013, kami ber-26 + 2 driver berangkat dari stasiun pasar turi Surabaya menuju Gunung Ijen. Di mobil elf ada saya, Maya (Sby), Dina (Sby), Ventri (Sby), Chintya (Jkt), Vinkan (Jkt), Ricci (Jkt), Randy (Jkt), Jaya (Balikpapan), Aditya (Jkt), Ganang (Jkt), Sidiq (Jkt), Nanda (Jkt), Yudis (Jkt), Radit (Jkt), Eki (Jkt), dan Andro (Jkt). Sedangkan di travello ada suami saya, Neni (Sby), Fadila (Sby), Buyung (Jkt), Oppie (Jogja), Aziz (Jogja), Whury (Sby), Leily (Sby), dan Hadi (Balikpapan). Semuanya berawal dari tidak kenal dan berakhir menjadi keluarga besar.
Tujuan pertama trip ini adalah air terjun Blawan, sesuai saran Yuniawan, kawan saya yang ngetrip ke sini sebelumnya. Saya tadinya berpikir bahwa air terjun Blawan ini bisa kita nikmati begitu turun dari mobil. Ternyataaaaa, setelah turun dari mobil kita masih harus trekking sepanjang setengah jam di jalan setapak yang penuh tanjakan. OMG, inikah pemanasan sebelum pendakian nanti malam?
Meski jalan setapak nya berliku2, tapi petunjuknya cukup jelas, terutama papan kayu bertuliskan "WATER FULL", bukan waterfall.
Setelah setengah mati setengah hidup kami trekking, akhirnya tiba juga di air terjun ini. And it was sooooo wonderful, keren banget dah pokoknya, ga nyesel udah nyiksa dengkul selama setengah jam.
Kami di air terjun Blawan bentar doang, karena hari udah mulai gelap dan kami harus hunting makan malam secepatnya sebelum warung2 makanan di daerah situ keburu tutup. Benar saja, sampai di pasar Jampit, hampir semua warung makan sudah tutup, yang masih buka pun masakannya sudah tinggal dikit banget. Dan terpaksalah sebagian besar dari kami cuma pesan mie instan untuk makan malam. Saya sendiri cukup beruntung menemukan warung yang masakannya masih cukup lengkap. Bersama suami, para driver, Whury, dan Leily kami memesan nasi pecel dan soto. Dan rasanya, ajaib sekali, pemirsaaahh. Chef Juna bisa mendadak stroke kalo cicipin masakan ini. Inikah sebabnya warung ini masakannya masih lengkap? Hahahaha....
Setelah makan malam, kami langsung menuju hotel Arabica, tempat kami akan beristirahat malam itu. Karena kami ber-26 dan dipastikan akan teramat sangat ribut sekali, pihak hotel memberikan kami sebuah paviliun berkamar 10 di luar bangunan utama hotel. Jatah kami 9 kamar, 1 kamar lagi adalah sepasang bule yang apes karena sepanjang malam ga bisa tidur saking berisiknya kami. Sejak awal kami masuk kamar memang sudah gegap gempita, karena selainnya kami terlalu euforia bisa ngetrip dengan puluhan kawan baru, juga karena kondisi kamar yang membuat kami jadi gaduh. Ada yang ga tau caranya nyalain water heater, ada juga yang heater nya kehabisan gas. Ada yang negosiasi tukeran kamar. Ada yang kekurangan selimut, bantal, dll. Mungkin hotel ini kewalahan dengan banyaknya makhluk2 ajaib (kami) yang menginap malam itu. :victory:
Saya sekamar dengan Leily dan Oppie. Setelah mandi dan bersih2, kami bertiga mengobrol menceritakan pengalaman adventure masing2, dan rencana adventure ke depannya. Kira2 jam 8 malam Oppie dan Leily sudah pulas tertidur, sedangkan saya tidak mampu tidur sedikitpun, karena suhu di kamar saat itu mencapai 6 derajat celcius, jauh lebih dingin dari Bromo. Tepat jam 11 saya mulai mendengar teman2 yang lain mulai berisik lagi, sayapun membangunkan Oppie dan Leily, lalu bersiap2 memulai pendakian. Seperti kalau ke Bromo, saya tidak pernah memakai jaket, hanya merangkap 3 lapis baju di dalam jubah saya. Dan itu adalah keputusan yang SALAH!!! Ijen bukan Bromo, tapi jauh lebih dingin daripada Bromo. Beberapa teman telah siap dengan kostum pendakian masing2, saya pun membangunkan kamar2 lain.
Sebelum berangkat, saya mengharuskan teman2 untuk makan pop mie atau roti dulu sebagai tenaga pendakian. Kami makan sambil mengobrol dan bercanda. Sejak awal sayup2 saya sudah mendengar suara gerundelan si bule di kamarnya, tapi ga jelas, jadi saya biarkan saja. Ternyata ga lama kemudian, si bule keluar kamar dan teriak "BE QUITE!!!". Berhasil, kami langsung hening seketika. Begitu si bule masuk kamar lagi, kita cekikikan, tuh si bule kok gampang marah sih? kebanyakan makan kambing atau barusan ditipu money changer di Bali? :victory:
Tepat tengah malam kami berangkat dari hotel menuju pos Paltuding, pos pemberhentian terakhir sebelum pendakian Gunung Ijen. Tiba di Paltuding sekitar jam 00.30 malam. Melihat mobil kami datang, para guide langsung menawarkan diri, tapi driver kami menolak dengan mengatakan bahwa kami sudah ada guide. Tapi tampaknya mereka ga percaya, dan terus mengikuti mobil kami. Saya mulai berpikir untuk mengajak teman2 patungan lagi menyewa guide, tapi kemudian salah satu dari guide tersebut berkata "oh iku wis onok guide", sambil menunjuk seseorang dari kami. Saya tengok siapa yang ditunjuknya, ternyata si Randy! Mereka menyangka si Randy adalah guide kami, karena Randy mengenakan sarung nya dengan model ninja, sebagai ganti ga bawa mantel. Dan model sarung ninja ini lah seragam khas para guide di Ijen. Maka selamatlah kami dari kewajiban sewa guide karena Randy. :haha:
Malam itu sangat pekat, entah sang bulan pergi ke mana, hanya saja langit sangat cerah, sehingga kerlip bintang terlihat sangat jelas dan cantik. Di pos Paltuding kami menemukan sebuah banner bertuliskan "PENDAKIAN DAN PENAMBANGAN BELERANG DI GUNUNG/KAWAH IJEN DITUTUP UNTUK SEMENTARA". Sebagian teman2 sudah saya beritahu sebelumnya, tapi sebagian lagi langsung kecewa karena mengira kami batal mendaki. Untuk penjelasan tentang banner itu, off the record aja yah. Sebelum memulai pendakian, saya mengecek dulu persiapan teman2, mulai dari peralatan sampai perbekalan logistik. Alhamdulillah, semua peserta mematuhi semua briefing saya. Hanya ada 1 peserta yang tidak siap dengan logistik, yaitu SAAYYYAAAA!!!! Sebelum berangkat saya sudah sempat belanja di minimarket, but my husband left them at my bedroom. Jadilah saya mendaki tanpa logistik sama sekali. Setelah berdoa bersama, kami pun memulai pendakian.
Jarak dari pos Paltuding menuju puncak adalah 3 Km, dan dapat ditempuh selama 2-3jam. Sejak awal mendaki saya sudah berusaha menghemat nafas dan tenaga dengan berjalan sangat pelan, supaya tidak banyak kalori yang terbuang, mengingat kami tidak punya logistik sama sekali. Saya tetap nekad mendaki dengan harapan teman2 lain mau berbagi logistik nya jika saya membutuhkan asupan kalori selama pendakian.
Di 200 m pertama pendakian, saya yang memback-up Neni dan Dina bertemu dengan seorang pendaki yang kolaps. Lhadalah, ini kan belum apa2, kok sudah habis di sini yah? Pendaki tersebut dikelilingi kawan2nya, dan semuanya berusaha menghibur pendaki kolaps ini. Dina dan Neni juga ikut berhenti untuk menonton adegan ini, tapi kemudian saya ajak mereka berjalan lagi. Bukan apa2, saya sendiri juga sebenarnya takut pada orang yang kolaps, karena yang saya tahu, kolaps itu menular. Tapi kata suami saya, itu bukan kolaps, melainkan mabuk, karena si pendaki berikut kawan2nya sangat berbau alkohol. Saya jadi ingat pernah menemukan botol Jack-D di Ranu Kumbolo. Waktu itu saya pikir ada pendaki yang sedang merayakan sesuatu, jadi dia bawa Jack-D mendaki gunung. Tapi kemarin baru saya paham, banyak pendaki yang minum alkohol, dan fungsinya adalah untuk menghangatkan tubuh. Mungkin mereka tadinya minum2 supaya tidak kedinginan di Ijen, tapi ternyata justru malah mabok. Mungkin yang diminum adalah oplosan kali ya...
Karena di hotel tadi saya tidak berhasil tidur, selama mendaki saya harus menahan ngantuk yang luar biasa. Setiap kali Dina dan Neni minta berhenti istirahat, saya langsung tertidur dalam keadaan duduk. Edian, ngantuk abeesss... Begitu terus berulang2, sampai saatnya saya tertidur cukup lama, sehingga Dina dan Neni tidak terlihat lagi. Mau nya back-up mereka berdua, ternyata justru saya yang ditinggal jauh. Oalah, nasib.... :dead:
Masuk ke KM ke-2, saya mulai merasa kelelahan, langkah pun semakin saya pelankan, sekali lagi karena mengingat saya tidak punya logistik sama sekali, sedangkan teman2 saya pun sudah jauh di atas. Yang tadinya saya bertahan 20 langkah jeda, semakin lama semakin berkurang, dan akhirnya setiap 5 langkah saya butuh jeda. Saya pikir, saya sudah tidak sanggup lagi. Oksigen semakin tipis, nafas semakin berat, dan suhu udara semakin turun. Sekeliling saya hanya hutan lebat, gelap, dan saya lapar. Sempat terpikir untuk tidur saja di situ, menunggu pagi, tapi suhu udara serendah ini bisa menghentikan jantung orang yang sedang tidur. Saya pun bertahan duduk tegak, supaya tidak tertidur. Setengah jam kemudian, melintaslah seorang pendaki. Seperti biasa, kami saling menyapa. Saat dia hampir berlalu, saya memberanikan diri saya. "Kak, punten, kak, kalo ada makanan sisa, boleh dikasih ke saya, kak". Dan dia jawab "Oh iya, ada, mau permen?". "Mau, kak..". Dia merogoh carriernya, dan memberikan 2 butir permen pada saya. Melihat permen itu seperti melihat berlian bagi saya. Cepat2 saya makan sebungkus, dan 5 menit kemudian saya pun merasa segar lagi. :akhirnya:
Berdasarkan kata mbah Google, setelah kita melewati pondok penimbangan belerang, maka trek yang akan kita tempuh akan landai, dan tidak ada lagi tanjakan. Dan itu BOHONG!!!! Setelah pondokan, masih banyak tanjakan dan tikungan tajam sebelum jalur landai sepanjang 1 Km. Haduuuhh, untung saja sudah ada permen, kalo gak, entahlah....
Akhirnya setelah 3,5 jam penuh perjuangan dan kelaparan, saya berhasil tiba di puncak. Suasana masih gelap. Saya melihat ada sekelompok pendaki yang mengerumuni api unggun. Saya pun bergabung dengan mereka, dan ternyata di situ sudah ada Dina dan Neni. Dari mereka berdua, saya tahu ternyata rombongan kami berpencar, ada yang turun ke kawah untuk melihat fenomena blue fire, ada yang mendaki ke puncak sebelah untuk menyaksikan sunrise. Saya sendiri memilih bertahan di situ karena suhu udara semakin lama semakin turun. Saya duduk di sebuah lekukan tanah agar terhindar dari angin, dan tidur pulas sambil menunggu matahari.
Saya terbangun oleh teriakan2 Maya, Ventri, dan teman2 perempuan lainnya. Rupaya, matahari sudah muncul meski dari situ saya tidak bisa melihat matahari. Lembayung fajar nya melukiskan guratan2 jingga di langit. Seperti berebut perhatian dengan beberapa bintang yang masih ngotot mempertahankan kerlipnya meski malam telah berakhir. Indah sekali langit di puncak Ijen pagi ini. Saya melihat ke arah kawah. Subhanallah, sungguh indah kawah Ijen. Hanya sang maha cinta yang mampu menciptakan alam semegah ini. Sesekali kawah kaldera di bawah sana tertutup kabut, dan jika angin datang untuk menyapu kabut, kawah hijau itu terlihat lagi. Di puncak kanan, saya melihat teman2 lain sedang berfoto2 dengan seru nya. Di puncak kiri, seorang teman berlari2 ke arah kami, berteriak2 "Mbak, aku dapat sunrise, di sono, mbak, sunrise nya". Setelah dekat, dia memamerkan penampakan sunrise yang berhasil ditangkap kameranya. Di belakang kami, kumpulan awan berarak di bawah kami. Ya, kami ada di puncak gunung, dan kami berdiri lebih tinggi daripada awan di langit. Tidak ada yang mampu saya ucapkan saat itu, selain "Subhanallah, nikmat-Mu yang mana lagi yang mampu aku dustakan?" Ga terasa, mata saya mulai basah. Pemandangan ini, moment ini, teman2 ini, Indonesia ini. Semua itu, adalah alasan bagi saya untuk terus memuja Nya.
Setelah berfoto bersama, kami pun segera turun karena tidak tahan dengan suhu dingin udara di puncak. Dalam perjalanan turun, kami bertemu dengan lebih banyak lagi pendaki yang akan naik. Ternyata, ijen kurang diminati sebagai view sunrise, karena sunrise tidak selalu terlihat dari puncak Ijen. Maka itu, lebih banyak pendaki yang mendaki ijen di pagi hari, karena suhu tidak lagi terlalu dingin, dan terang benderang. Sepanjang perjalanan turun, kami sering terhenti karena membeli souvenir belerang yang dijual para penambang.
Tiba di pos Paltuding jam 7 pagi, dan saya langsung mengajak teman2 untuk kembali ke hotel.
Tiba di hotel, saya mengajak teman2 untuk segera mandi, bersih2, packing, dan makan pagi sebelum cek out. Entah kenapa, sepertinya teman2 saya ini memang hobi nya membuat keramaian. Baru saja saya masuk kamar, ada yang mengetuk "Mbak, kamar mandiku heaternya gas nya abis". Kenapa laporan sama saya ya? Emang saya siapa nya hotel? Dia bilang lagi, "kamar si bule udah kosong tuh, mbak, boleh gak, kita mandi di situ?". Dan saya jawab tegas "Gak boleh, itu bukan hak kita".
Saya bersiap mandi di kamar saya, lhadalah heater kamar mandi saya gas nya juga habis! Saya pindah ke kamar suami, sama juga ternyata, dan ternyata kamar teman2 lainnya juga. Lalu yang saya lakukan adalah, mengundi antrian teman2 semuanya untuk mandi di kamar si bule, hahahaha.....
Setelah mandi, kami makan pagi di kafe hotel. Si bule pemilik kamar pun datang, daaaannn dia komplain karena gas heater kamar mandi nya habis. Gimana gak habis, lha wong baru digilir sama 26 bolang ajaib begini... :victory:
Setelah makan pagi, kami cek out dari hotel dan melanjutkan perjalanan. Tujuan berikutnya adalah Taman Nasional Baluran di Situbondo. :keren:
Tadinya kami berharap bisa berfoto bersama hewan2 liar di padang Savana Bekkol, tapi ternyata kami salah waktu. Di TN.Baluran, saat yang paling tepat untuk melihat hewan liar adalah malam hari, itulah sebabnya ada fasilitas night safari di TN.Baluran. Sedangkan kami datang siang hari, yang mana hewan2 liar itu lebih memilih tidur saat hari sedang panas.
Setelah melintasi Savana Bekkol, kami menuju ke Pantai Bama, kamipun telah siap dengan baju untuk berenang, karena memang rencananya kami akan wisata air di pantai. Pantai Bama sendiri menyediakan fasilitas snorkling dan canoing. Tapi sekali lagi, kami salah waktu. Aktifitas snorkling, canoing, dan berenang hanya bisa dilakukan di pagi hari. Di siang hari, air laut surut, bahkan kami sampai bisa berjalan kaki sampai tengah laut.
Di sinilah ada accident yang bisa berakibat fatal. Suami saya menginjak bulu babi, dan seumur hidup baru kali ini saya melihat bulu babi secara nyata. Alih2 mengobati suami saya, saya mengamati makhluk aneh itu. Wujudnya bulat hitam, duri nya seperti kawat yang tegak dan bergerak2 kaku. Bagaimana mungkin landak jelek gini bisa terinjak? Ternyata, saat dia tidak sedang terancam, duri2 itu tidak tegak berdiri, tapi lemas menutupi bola hitamnya.
Saya pun memberitahukan teman2 lainnya bahwa suami saya terkena bulu babi. Yang kami dengar, racun pada jarum bulu babi itu bisa sangat mematikan, dan obat yang paling manjur adalah zat amoniak. Saya kurang jelas bagaimana awalnya, yang saya tahu Randy sudah menggiring Jaya dan Hadi untuk masuk ke toilet membawa botol air mineral kosong. Ternyata Randy memaksa Jaya dan Hadi untuk kencing di botol air itu untuk mengobati luka suami saya. Setelah mereka bertiga mengisi botol itu dengan air kencing mereka, mereka memberikan botol itu pada suami saya, dan DITOLAK!!! Mereka bertiga kecewa sekali karena suami saya menolak air kencing mereka, bahkan si Randy bilang "udah bela2in minum banyak biar bisa pipis, eh dipake juga kagak". Untung saja, teman2 lain membela kami "Tega banget sih lo, Ran, pipisin suami mbak Windy, emang dia salah apa sama lo?". :haha: Ngakak mampus dah, kalo inget kejadian itu.
Jam 5 sore kami semua makan malam di cafetaria depan pantai Bama. Oh iya, kami memang sengaja makan lebih awal supaya bisa pulang lebih cepat karena separuh dari kami akan melanjutkan perjalanan ke Bromo. Kami tidak menunggu senja karena di Pantai Bama tidak ada sunset, yang ada justru malah sunrise. Sekali lagi, kami salah waktu.
Jam 6 sore kami meninggalkan Taman Nasional Baluran yang menjadi tujuan terakhir dari trip ini. Lelah luar biasa, tapi kegembiraan yang kami dapatkan 2 hari ini benar2 setimpal dengan kelelahan fisik kami. Cukup 2 hari untuk me-refresh semangat, dan kembali ke kesibukan sehari2. Mengutip kata si Randy "17 Agustus 1945 itu deklarasi kemerdekaan Indonesia, sedangkan 17 Agustus 2013 adalah deklarasi 26 persodaraan baru kita".
See you on next trip, guys, semoga ada kesempatan bisa ngetrip bareng kalian lagi. Jangan pernah berhenti mencintai alam dan negeri ini ya.
:bye:
So much thanks to my best friend and trip advisor, Yuniawan Mochtar dan Kezia Maria Veronica.
Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar
© backpackerindonesia.com