Trending

Tanya & Jawab

Blog

Galeri

Teman jalan

Tour & Travel

Tujuan Wisata

Tags

#1000tolakkan Waisak sebagai ajang open trip para backpacker

rruuddyyy
rruuddyyy, pada 21 Feb. 2014, 12.34
di Blog

Di negara yang penganut Buddha-nya banyak misalnya, Waisak diperingati dengan sakral, penuh hormat, dan hening. Hal semacam ini sulit ditemui pada peringatan Waisak di Mendut-Borobudur. Waisak di sini lebih mirip atraksi wisata, hiburan buat masyarakat awam. Ada pasar malam yang digelar di sepanjang bagian luar Candi Borobudur hingga Mendut yang dipenuhi ribuan orang. Ada dengking, pekik kebisingan dari suara motor, orang berbincang, yang kerap mengganggu jalannya pujabakti yang digelar di pelataran Candi Mendut di malam hari. Sepintas, sungguh mirip sekaten Jogja. Bukan ritual agama.

Di negeri ini, perayaan agama minoritas kerap dipandang sebelah mata. Bukannya dihormati pelaksanaannya, malah dijadikan atraksi wisata. Para penikmat ritual, entah wisatawan atau juru potret, menganggap sudah jamak memotret seenak udelnya, karena itu bagian dari atraksi wisata. Tak peduli saat itu digelar pujabakti, pembacaan sutra, atau meditasi.

Saya jadi membayangkan andai pada pelaksanaan shalat Ied, lalu ada kaki-kaki yang masuk di sela-sela shaft, demi menjepret sang Imam atau makmum, apa yang terjadi? Pastilah jamaah marah, memaki, malah bisa jadi si tukang foto diusir, ditangkap, atau dikurung. Itu sebabnya para fotografer shalat jauh sebelumnya sudah mengatur posisi agar tak mengganggu kekhusyukan shalat. Anehnya, hal ini tak terjadi pada Waisak Borobudur.

Para banthe yang khusuk berdoa, membaca sutra pun, jadi obyek eksotisme karya foto. Atau arak-arakan pawai harus tersendat karena berjubelnya penonton yang beringas seolah hendak memakan para banthe atau peserta ritual yang hendak memasuki kawasan candi. Mereka atraksi. Mereka menarik untuk dipotret. Tak ubahnya penari reog atau dance festival.

Harus diakui, kini prosesi Waisak di Borobudur memang menjelma menjadi tontonan, suguhan yang menghibur masyarakat sekitar. Nilai magis, kesucian ritual, telah berbaur dengan komersialisasi wisata. Mau tak mau, karena prosesi dilaksanakan di tempat wisata yang mendunia, Candi Borobudur.

Saya jadi berangan-angan, semacam utopis, andai di saat perayaan ritual agama seperti Waisak, Borobudur ditutup untuk umum dan semata digunakan untuk ritual agama bagi umat Buddha. Mungkinkah?

Sudah banyak hal tidak menyenangkan yang saya saksikan berkaitan dengan ritual Waisak ini. Tahun lalu saya ada di antara umat Buddhis yang berada di dalam vihara depan Candi Mendut. Belum tengah malam saat itu. Banyak awam diijinkan masuk awalnya. Bukannya sekedar melihat-lihat, mereka dengan usilnya bermain dengan segala benda yang mereka anggap aneh. “Apa ini? Hahaha.. Wah, ini sih patung nggak jelas, Huhuhu..” Mereka memainkan semacam kentongan, menertawakan orang yang sembahyang sambil menundukkan kepala dan menyilangkan tangan, dan sebagainya. Seolah itu perbuatan menggelikan, karena memang di luar konteks pemahaman agama mereka. Ini sungguh mengesalkan. Di mana letak toleransi.

Andai ada orang nyelonong masuk ke masjid, lalu dengan main-main berdiri di mimbar masjid saat bukan waktu shalat, atau menabuh bedug sesuka hati, apa ada yang tidak marah? Pastilah si penabuh bedug itu digampar dan dikuliahi sampai berbuih. Tapi bersikap toleran terhadap pemeluk agama liyan, sungguh sulit.

Ini baru soal sikap. Tentang nilai komersil, bisa saya gambarkan sebagai berikut. Seorang kawan berkabar ditawari wisata Borobudur, termasuk mengikuti prosesi Waisak dengan membayar Rp900.000. Kawan-kawan manca juga mengakui hal sama, 70 dolar tiket untuk menonton prosesi Waisak di Borobudur dari awal hingga akhir. Entah agen perjalanan mana yang mengadakan. Kawan-kawan fotografer dari media entahlah beramai-ramai mendaftar ke panitia, demi memperoleh tanda pengenal yang membebaskan mereka dari tiket masuk Borobudur. Dan beragam cara lainnya.

Komersialisasi juga sudah dinikmati masyarakat sekitar. Tahun kemarin saya terkaget-kaget karena hampir semua rumah penduduk di sekitar Mendut sudah disulap menjadi penginapan dadakan dengan tarif antara Rp50.00-Rp250.000 semalam. Tergantung mau tidur di kamar atau menyewa satu rumah penuh. Itu pun mau tidur di atas tikar, di atas ranjang, atau bergelung karpet. Ana rega ana rupa. Semakin mahal tarifnya semakin maknyus fasilitasnya. Hehehe..

Wah, ingatan saya jadi melayang di akhir 1990-an, saat mengikuti prosesi Waisak yang nyaris tanpa gangguan dengan kawan-kawan Buddhis Jepang. Kami masuk candi dengan tenang, setelah mengisi daftar berasal dari mana di depan Candi Mendut, lalu beramai-ramai ikut pawai. Nyaris tak ada fotografer ganas, semua tampak sopan dan meminta ijin dulu jika hendak memotret.

Semoga ini menjadi referensi teman-teman untuk dua kali.mengadakan open trip ataupun berkunjung ke borobudur pada saat waisak bukan demi 1000 lampion demi.menghargai sesama umat beragama.


Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar

catarinaa90
catarinaa90
catarinaa90 Sr.
pd. 7 Maret 2014, 22.10

Taun lalu kebetulan ane ksana,
Berbekal info dr kanan kiri memang kita bsa punya akses bebas disana klo sblmnya mendaftar dan punya id,
Yg lucu memang panitia disana seakan2 juga membuat waisak diborobudur itu jd tmpat wisata krn masuk borobudurnya gratis loh,
Ya alhasil org yg dtg ksana tanpa info dan peraturan2 memandangnya jg sdg melihat pertunjukan,
Walaupun rasanya agak miris sih ngeliat para tkg poto yg memfoto dgn jarak dekat muka org2 yg lg pd berdoa bgitu

Suka 0
Buceng
Buceng
Buceng Newbie
pd. 5 Maret 2014, 20.12

bagaimana manapun toleransi beragama harus di jungjung apapun itu .... !

salam perdamaian

:victory:

Suka 0
Buceng
Buceng
Buceng Newbie
pd. 5 Maret 2014, 19.32

bagaimana manapun toleransi beragama harus di jungjung apapun itu .... !

salam perdamaian

:victory:

Suka 0
Perry
Perry
Perry Sr.
pd. 5 Maret 2014, 9.56

Harusnya kita sendiri juga bisa wise dan ngerti kalo org lain sedang beribadah... Dan setau saya yg pengen dilihat wisatawan jg pelepasan lampion dan itu setelah peribadahan selesai.. Jd ya kita sadar diri aja lah..

Suka 0
Anakdesa
Anakdesa
Anakdesa Jr.
pd. 5 Maret 2014, 4.02

Kembali ke pribadi masing-masing, mau ibadah apa mau ngurusin hal lain yang ada di luar ibadah itu sendiri. Peraturan memang dibutuhkan, penyelenggaraan perhelatan akbar seperti ini seharusnya sudah dipersiapkan dengan peraturan dan pakem tertentu agar nantinya inti dari perayaan itu sendiri, alias ibadah itu bisa berjalan khusuk, tenang, lancar dan aman.

Suka 0
ady442
ady442
ady442 Pro.
pd. 3 Maret 2014, 11.37

Kalo memang itu acara sakral yang bernilai ibadah seharusnya panitia tidak membuka tempat itu untuk umum.....tidak semua orang mengerti tentang agama Budha dan ritualnya....dan seharusnya umat Budha memberikan pencerahan ttg ritual yang bisa diliat dan yang tidak bisa diganggu....

gw yakin semua hal yg terjadi tahun kemarin karena ketidaktahuan....para TURIS

ini cuma pendapat gw aja

Suka 0
rinarosyidah
rinarosyidah
rinarosyidah Pro.
pd. 2 Maret 2014, 0.52

idem dengan sist yulia.tri, saya seperti pernah baca tulisan ini ketika mencari info tentang waisak di borobudur, apakah sama penulisnya?

http://othervisions.wordpress.com/2013/05/24/
ketika-waisak-jadi-obyek-wisata/

Suka 0
yulia_3wiji
yulia_3wiji
yulia_3wiji Pro.
pd. 28 Feb. 2014, 9.31


I couldn't agree more...

Mengutip tulisan di tempo "Bhiksu Badra Suci, seorang Bhiksu sekaligus pakar tentang Borobudur, mengatakan meski dianggap tempat suci oleh umat Budha, namun Candi Borobudur bukan merupakan tempat ibadah. Borobudur merupakan sebuah monumen (mandala)"
http://www.tempo.co/read/news/2010/04/02/058237547/Ratusan-Umat-Budha-Gelar-Doa-Perdamaian-Dunia-Di-Candi-Borobudur

So.....
Meskipun Candi Borobudur bukan merupakan tempat ibadah (baru tau juga c...)
Tetapi, saat ada umat lain menjalankan ritual keagamaannya maka kita yang berada di sana selayaknya dapat menjaga sikap. Sepantasnya aja...

Koq nemu artikel yang serupa ya di blog ini
http://othervisions.wordpress.com/2013/05/24/ketika-waisak-jadi-obyek-wisata/

Penulis yang sama kah??
:)

Suka 0
exikharara
exikharara
exikharara Pro.
pd. 27 Feb. 2014, 14.06

Saya melihat sendiri tahun kemarin dan merasa seharusnya saya tidak di situ. Setuju :jempol:

Suka 0
Malang
Malang
Malang Super Hero
pd. 27 Feb. 2014, 17.16

>apa alasan prinsipx mengjk utk menolak trip ke acara waisak baik di
borobudur/candi mendut?!
>apakah tulisn ini berdasarkan fakta di lapangan/mngalamix sndri atw bgmn,
brdsr penelitiankh,iri,jengah,atw apa?!
>neg jg kn gk menganjurkan menolak para wisatawan utk keperluan ini
>gk hbs pikir knp nulisnx dg membanding-bandingkan dg agama laenx
>menulis dg menjurus kearah SARA itu kn tabu lho,bahaya bro...
>kt liat mslhkn dr situasionalx, di thailand kn mayoritas Budha,India Hindu,
Indonesia mayoritas Islam, cara beribadah jg lain2 thd TuhanNYA, jd kt bs
toleransi dg gk bwt penilaian apakh agama yg satu bgini yg laen bgt
>udh pd tau smualh kl candi Borobudur itu,dh kondang kmn-mn, bhkn UNESCO
tlh mensahkn borobudur sbg warisan dunia, bhkn dl mw dicabut gara2 candi
borobudur gk terurus, kotor, dsb....
>ya kl pgn khidmat, merayakan waisak di Borobudur pd awalx mnolak UNESCO
kl Borobudur akn djdkn tmpt warisan budaya, tegas!!!
>kt gk bs mrubh hal-hal yg udh pd lazimnx yg kenyataanx demikian, UNESCO
yg udh mensahkan sbg warisan budaya mengharuskan kt utk membayar mahal
msk ke candi Borobudur,inilh konsekwensix, lho kec ada kebijakan mnghrskn
turis lokal gk byr alias gratis dan turis asing kdu byr, itu laen lg per
soalnx
>kl jmnx udh komersiil ya jgn mmbanding-bandigkn dong umat ini dmk, umat itu
bgni..
>sbg bag dr masy kt cm bs introspeksi diri dan mrenung aj deh, itu lbh
elegance...
>kt org sono "don't take care of things that arn't under control, unless
the competent" (jgnlh mengurusi hal-hal yg bkn mnjd wwnngx, kec yg ber
kompeten).
:punyeng:

Suka 0

© backpackerindonesia.com