© backpackerindonesia.com
Gara-gara Alona, teman sependakian Rinjani yang bilang blue fire di Ijen itu keren, saya segera menjadwalkan perjalanan ke sana. Hanya selang 3 bulan setelah Rinjani, November 2013 lalu, saya menyusun perjalanan menuju Ijen.
Oh ya, seperti biasa, kali ini saya juga traveling sendirian. Berhubung mbah Google bilang angkutan menuju Ijen susah, saya pasrah saja turun kereta di Probolinggo. Tidak ada angkutan umum satu pun karena sudah menjelang magrib. Beruntung, saya melihat satu mobil yang menjemput sepasang turis. Saya melobi pak sopir dan memutuskan untuk mengambil paket bersama turis tadi ke Bromo dan Ijen. Sepasang turis tadi -Anna dan Steven-, berasal dari New Zealand, namun sekarang menetap di Australia. Terus terang logat Aussy mereka agak susah ditangkap telinga. Kami juga tidak banyak mengobrol dalam perjalanan karena saya duduk di samping pak supir. Saya mengobrol dengan pak supir yang tahu banyak tentang gunung, pendakian dan tempat-tempat wisata lainnya.
Oh ya, untuk paket Bromo-Ijen ini saya membayar 650 ribu rupiah, sudah termasuk antar jemput dengan avanza dari dan ke Probolinggo, jeep, guide, penginapan di Ijen, plus tambahan melihat blue fire, namun belum termasuk penginapan di Bromo dan makan. Penginapan di sekitar Bromo hanya tersedia hotel kelas melati atau home stay. Harganya berkisar 150-250 ribu rupiah per malam. Kalau anda tidak mau bangun tengah malam untuk melihat blue fire, biayanya akan berkurang 100 ribu karena tidak perlu guide tambahan.
Anna dan Steven menginap di tempat yang berbeda. Kayaknya sih di Cemoro Lawang yang lebih bagus. Saya menginap di Yo*** hotel di Desa Ngadisari, beberapa kilo meter sebelum Cemoro Lawang. Dapat kamar ekonomi paling pojok nan gelap. *cakeeep. :/
Penginapannya sih strategis dan terjangkau, tapi kurang bersih. Biarin deh, yang penting selimutnya cukup tebel. Eksteriornya bagus, kayak taman-taman di Bali. Air hangat hanya ada di kamar mandi umum, bukan yang dekat kamar. Sayang pas saya ke sana, kamar mandi umumnya bau-bau pesing gimana gitu.... Yah, namanya juga kamar ekonomi ya? Kalo mau yang kamar mandi privat dengan air panasnya sendirian, pilih kamarnya jangan yang ekonomi lah.
Makanan dan souvenir di sini murah kok. Saya saranin, mending cari makan di luar saja. Lebih enak dan terjangkau. Soalnya nih, saya sempet kesel waktu pesan makanan di resto. Udah menunya terbatas, lama... rasanya ga enak pula. Masak saya pesan mie goreng aja sampe sekitar 45 menit? Udah gitu yang tersaji itu rasanya gak banget. Semacam spageti dikecapin yang bagi saya rasanya gak karuan. Uh, mending saya ke luar aja. Nasi soto di warung sebelah enak, murah dan kenyang. Untuk souvenir, silakan beli kupluk atau syal dengan tulisan Bromo hanya seharga 25 ribu rupiah saja. Gak usah ditawar. Sudah murah ini. Hitung-hitung memberdayakan ekonomi di negeri sendiri.
Sekitar jam 3 dini hari, sebuah jip menjemput. Satu jip diisi oleh 6 orang. Mas supir, saya, Anna, Steven, dan dua orang lainnya : Carla dan Fabios dari Portugal. Berhubung yang lainnya adalah pasangan, jadilah mereka sibuk sendiri berdua-berdua. Tidak banyak percakapan yang terjadi kecuali kami menahan napas karena mas supir ngebut meski jalan curam dan berkelok-kelok.
“Tenang aja, kalau kita ga keburu melihat sunrise, gak papa kok,” ucap Carla dalam bahasa Inggris. Jelas ia lebih mengkhawatirkan keselamatan kami semua dari pada keinginan untuk melihat matahari terbit di Pananjakan.
Bagi orang-orang, sunrise di Bromo mungkin menakjubkan. Tapi bagi saya yang berpendapat bahwa keindahan suatu tempat berbanding lurus dengan kesulitan saat mencapainya, Bromo menurut saya biasa-biasa saja. Sunrise memang indah. Tapi sunrise indah tidak hanya ada di bromo. Bagus, tapi tidak cukup istimewa. Saya mungkin terdengar menyepelekan atau apa. Tapi begitulah yang saya rasakan. Justru perjalanan dari Probolinggo ke Cemoro Lawang dan sebaliknya lebih indah.
Usai melihat sunrise, kami kembali ke jip menuju Bromo. Di tengah jalan, kami berhenti untuk berfoto. Kali ini, jip berjalan lebih santai. Kami punya waktu lebih untuk mengobrol dan berbagi pengalaman traveling. Carla dan Fabios sudah lebih dulu dari Ijen sebelumnya, sedangkan saya, Anne dan Steven baru akan menuju ke sana esok hari. Karena saya satu-satunya turis lokal dalam rombongan ini, keempat orang lainnya sempat mengira saya adalah pemandu mereka.
Bromo bukan gunung yang sulit didaki. Meski tangganya telah banyak tertimbun longsoran pasir, tetap lebih aman karena ada pegangan di sisinya. Rasanya tidak jauh berbeda dengan menuju stupa tertinggi di Borobudur.
Karena Anna dan Steven berjalan lambat, saya lebih banyak mengobrol dengan Carla dan Fabios. Kami menunggu Anna dan Steven, berfoto di puncak Bromo, lalu kembali turun ke tempat parkir jip. Sialnya, saya lupa membawa dompet dan persediaan air minum saya sudah habis. Lumayan haus juga ternyata, turun naik Bromo dari tempat parkir jip. Saya membantu Carla dan Steve memesan makanan. Semangkuk bakso malang hangat di pagi hari seharga 8 ribu rupiah per porsi. Fabios bilang, ini makanan paling murah dan enak selama hidupnya. Jelas saja, Fabios kan manager restoran mewah di London. Bandingin harga makanan di resto tempatnya kerja dengan street food di sini? Jauh bangetlah, bedanya.
Anna memutuskan untuk turun dengan kuda sementara Steven berjalan di sisinya. Saya berkomentar bahwa dengan cara seperti itu, Anna kelihatan seperti seorang putri. Saya lebih dulu kembali ke jip. Berfoto di kap depan mobil bergantian dengan Anna dan Steven sampai Carla dan Fabios kembali usai sarapan.
Mas supir mengantarkan kami kembali ke penginapan untuk sarapan. Lalu siangnya dijemput kembali menuju Probolinggo. Saya, Anna dan Steven akan diantar sopir lain menuju Ijen. Terus terang saya agak merasa kehilangan saat berpisah dengan Carla dan Fabios. Mereka orang-orang yang menyenangkan.
Mobil yang membawa kami berhenti di restoran Pantai Pasir Putih, Probolinggo. Harga makanan di sini bukan standar para backpacker, tapi standar wisatawan asing. Ayam bakar seharga 40 ribu. Sea food seharga 60-120 ribu rupiah. Saya hanya memesan capcay goreng (tanpa nasi) dan es jeruk seharga 33 ribu. Ikan bakar yang dipesan Steven dan Anna masing-masing seharga 60 ribuan. Untungnya porsinya cukup banyak dan rasanya enak.
Dasar saya ogah rugi, demi melihat stiker paket diving di pintu, saya bertanya kepada pelayan restoran yang ramah, dan membantu saya menghubungi Mas Rauf, pemilik operator diving. Begitu saya tahu harga per jam-nya hanya 300 ribu, saya memutuskan untuk mengambil paket tersebut keesokan harinya.
Bukan apa-apa, di Gili Trawangan, untuk non certified diver seperti saya, dikenakan tarif 1,5-1,8 juta untuk dua kali penyelaman. Di Karimun Jawa harga yang ditawarkan adalah 750 ribu rupiah. Memang kalau dihitung paket menginap sehari, plus keindahan pantai Karimun dan Gili T yang terkenal, harga itu mungkin cukup murah, tapi bagi saya, agak sayang mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk diving, lebih baik saya ikut kursusnya sekalian.
Toh saya cuma ingin merasakan pengalaman diving. Kalau melihat terumbu karang, ya sudah nanti ke Sea World Ancol saja. :D
Perjalanan menuju Ijen bisa dibilang menyenangkan. Kami menginap di penginapan milik pabrik kopi PTP. Nusantara di Jampit. Pemandangan begitu memasuki desa dan hutannya luar biasa indah. (versi ‘serius’ tentang Ijen saya ceritakan dalam tulisan yang lain)
Jika anda dari luar kota, untuk menuju Ijen, cara termudah adalah ikut paket tour seperti saya. Sebab, tidak ada angkutan umum menuju Ijen dan penginapannya. Jika anda solo traveler seperti saya, menyewa ojek menuju tempat ini malah akan memakan biaya jauh lebih besar.
Kamar di guest house PTP. Nusantara bagus dan bersih. Sederhana namun jelas terawat. Kamar mandi ada di setiap kamar dengan kran air panas. Saya (lagi-lagi) mendapat kamar di pojok, jauh dari Anna dan Steven. Saya merasa agak kesepian dan memutuskan untuk berjalan-jalan serta menyapa penduduk setempat. Malam itu, meski hanya beberapa jam, akhirnya saya bisa tidur nyenyak. Pukul satu dinihari nanti kami akan melanjutkan perjalanan.
Ada seseorang yang cukup menarik perhatian saya. Saya merasa wajahnya familiar di antara lainnya. Rasanya kok mirip aktor yang pernah saya lihat sekilas di televisi. Berbulan-bulan kemudian saya baru ngeh, kalau aktor yang mirip tersebut bernama Joe Taslim, pemeran film The Raid. Hehehe. *edisi kudet. :p
Kali pertama bertemu, dia tersenyum pada saya saat saya memasuki restoran di hotel Yo***. Saya menduga ia warga lokal yang kebetulan menjadi pemandu. Berhubung di meja sebelah belasan turis dari Eropa sedang berkumpul, melihat wajah saya muncul dari pintu, dia mungkin merasa mendapat teman.
Saat tengah malam kami dibangunkan dan bersiap di cafe, seorang supir tour memberinya segelas teh hangat dan roti dalam Bahasa Inggris. Baru saat itulah saya tahu, dia bukan warga lokal. Dan baru saat itu pulalah dia tahu, saya bukan pemandu.
Dia tersenyum, mengenali saya yang pernah berpapasan di restoran hotel sebelumnya. Saya menyapanya lebih dulu, bertanya asal negara dan beberapa hal. Baru sebentar saja, kami sudah bisa dibilang akrab.
“Kirain saya kamu dari Jepang,” kata saya. “Saya hampir saja menyapa kamu dalam bahasa Jepang.”
“Kamu bisa Bahasa Jepang?” tanyanya.
“Yah, pernah belajar sih sedikit. Tapi dah banyak lupa,” saya mengakui.
“Nama saya Neo, senang berkenalan,” ucapnya dalam Bahasa Jepang yang patah-patah. Jelas dia senang bisa mengucapkan hal itu. Tahu bahwa apa yang pernah dipelajarinya berguna.
Saya pernah bertemu pendaki dari Jepang saat di Rinjani, juga serombongan turis Jepang saat di Candi Mendut, dan, bertemu seorang asing yang kemampuan Bahasa Jepangnya di bawah saya, saya merasa menang. Hahaha. *tertawa sangat puas.
Neo berasal dari Thailand. Tadinya saya kira ia orang Indonesia. Memang wajahnya mirip teman-teman Tionghua, berhubung lingkungan kerja saya banyak orang-orang chinese, melihat mata sipitnya sejak awal bukan merupakan hal yang asing.
Saya menimpali dan kami berdua berbicara bahasa Jepang selama beberapa saat. Tapi saat teman-teman satu grupnya mulai datang, kami kembali bicara dalam bahasa Inggris demi kesopanan.
Perjalanan menuju Paltuding memakan waktu sekitar dua jam. Dari sini, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 2 km melewati hutan, dilanjutkan dengan 800 meter menuruni kawah. Suhu udara di Ijen sekitar 2-10 derajat celsius. Tinggi kawasan ini sekitar 2368 mdpl. Karena dua kilo pertama jalanan cukup bagus, perjalanan cukup aman meski tidak semua dari kami membawa senter.
Kami bergabung dengan rombongan lain, sekitar dua puluhan orang, semuanya turis asing. Untuk ke sekian kalinya, mereka mengira saya adalah salah satu pemandu. Memang ada dua orang mahasiswa asal Banyuwangi yang bermotor menuju tempat ini. Kami sempat bertemu sebentar saat beristirahat sejenak di Pondok Bunder, namun mereka berdua entah ada di mana, sehingga saya kembali menjadi satu-satunya turis lokal (dan berjilbab) dalam rombongan ini.
Blue fire, fenomena api biru alami hanya ada dua di dunia, dan salah satunya berada di Ijen. Bau sulfur terasa sangat menyengat hidung. Tingkat keasaman kawah ijen yang konon mencapai nol, cukup kuat untuk melarutkan tubuh manusia. Itu sebabnya, sebuah plang peringatan dipasang untuk tidak menuruni kawah. Tapi, bagaimana kami bisa melihat blue fire dengan jelas jika tidak menuruni kawah?
Saya membawa masker biasa, beberapa orang saya lihat membawa masker khusus seperti yang dipakai para tentara di medan tempur. Beberapa orang seperti Neo malah tidak memakai apa-apa.
Pemandu tambahan kami, pak Sulaimi, adalah salah seorang penambang tradisional yang bertindak sebagai pemandu. Hanya penambang yang tahu betul batu-batu yang aman untuk dipijak di tengah malam buta seperti ini. Kami berjalan berdua-dua. Berhubung Pak Sulaimi tidak bisa berbahasa Inggris, jadilah saya diminta sebagai pemandu dadakan.
Saya menerjemahkan penjelasan pak Sulaimi dan mengatur rombongan berpasangan untuk sampai ke tempat penambangan. Saya juga membantu beberapa turis yang tersesat untuk bergabung dalam rombongan kami.
Beberapa orang sudah turun. Sambil menunggu, saya menawarkan permen yang saya bawa kepada rombongan kecil kami. Steven dan Anna giliran berikutnya. Neo mengajak saya menuruni kawah bersama karena dia juga solo traveler.
“Umm..., green tea....” Neo tersenyum sambil mengemut permennya. Saya membenarkan.
Setelah semuanya turun, Pak Sulaimi menawarkan untuk melihat kawah Ijen lebih dekat. Kawah Ijen merupakan danau kawah terbesar di dunia. Belerang yang ditambang di sini mencapai 14 ton setiap harinya.
Baru beberapa menit kami di bibir kawah, semua minta segera naik. Udara begitu pekat oleh bau sulfur yang membuat kami semua kesulitan bernapas. Asap tebal juga membuat mata pedih dan berair. Kami segera naik, melewatkan foto danau kawah dari dekat.
Saya mempersilakan semua naik lebih dulu. Meminta Pak Sulaimi memimpin rombongan sementara saya melirik jam. Sudah masuk waktu subuh.
“Oh ya, morning prayer.” Neo melihat arlojinya. “It’s time.” Ia mengerti.
Saya menunaikan salat subuh sebisanya di tempat yang agak datar. Saat saya selesai, baru saya sadari, rupanya semua menunggu saya. Barulah kami naik ke atas bersama-sama.
Matahari sudah terbit, jalanan sudah jelas terlihat. Kami bisa berjalan sendiri ke atas dengan jauh lebih mudah.
“Lho, sampeyan cuma pake sandal tho mbak?” Pak Sulaimi melihat sandal yang saya pakai. Hanya sandal biasa, bukan sandal gunung, apalagi sepatu seperti yang lainnya. Pak Sulaimi sendiri memakai sepatu boot, hadiah dari bupati Banyuwangi beberapa bulan lalu kepada para penambang di Ijen selain masker dan kaos yang mereka terima.
“Saya salut juga sama sampeyan, Mbak. Biasanya, orang lokal ga ada yang bisa ke bawah. Cuma turis-turis bule yang kuat.”
Saya hanya tersenyum menanggapi. Sejujurnya, setelah mendaki jalur Senaru dan tebing Rinjani beberapa bulan lalu, medan seberat apa pun, jadi terasa tidak begitu berarti. Sementara pendakian Rinjani via Senaru..., rasanya benar-benar antara hidup dan mati.
Kami berfoto-foto, lalu meneruskan perjalanan. Saya dan Neo mengobrol sepanjang jalan. Kami bertemu kembali dengan Anna dan Steven saat di Pondok Bunder, tempat para penambang menimbang hasil belerangnya. Sebagian belerang itu, dicetak sebagai souvenir. Saya membeli sebuah cetakan belerang berbentuk hello kitty bertuliskan ’I love Ijen’ seharga 10 ribu rupiah. Tapi saya mengatakan kepada yang lainnya kalau mereka mau membeli souvenir seperti ini, mereka bisa membelinya dari para penambang dengan harga murah, hanya 15 ribu rupiah. Sedikit selisih yang tidak berarti untuk para turis asing, namun sangat berarti bagi para penambang Ijen. Steven membelinya sebuah.
Di Paltuding, saya harus berpisah dengan Anna, Steven, dan Neo. Mereka akan melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi, mungkin akan menyebrang ke Bali.
Sementara saya akan kembali ke Probolinggo. Tadinya saya berencana ke Baluran, namun diving murah kemarin lebih menarik untuk dicoba.
Kalau saya ke Baluran saat itu, sebenarnya itu saat yang pas, karena masih musim kemarau. Saya juga akan tetap dalam satu rombongan bersama Anna dan lainnya. Namun diving sudah ada dalam to do list saya sejak lama. Saat kesempatan itu datang di depan mata, saya anggap itu bagian dari doa yang terjawab.
Ini melenceng dari rencana awal, tapi itulah seni dan keasyikan tersendiri dalam solo traveling, kita bisa mengatur dan mengubah sendiri rencana perjalanan sesuka hati. Saya meminta diantarkan kembali ke Pantai Pasir Putih dan memesan penginapan di Hotel Bhayangkara untuk semalam. Bisa dibilang saya berada di tempat antah berantah. Saya tidak tahu lokasi saya sendiri. Saya tidak tahu posisi saya dalam peta. Tempat ini saya pilih hanya karena saya sudah cukup lelah. Berhubung penginapan ini milik Kepolisian, saya anggap tempat ini aman untuk bermalam. ‘Aman’ di sini juga berarti tidak dipakai untuk aneh-aneh.
Namanya sih pantai pasir putih, padahal pasirnya hitam, pantainya sempit, ombak dan pemandangannya biasa. Sunsetnya pun tidak kelihatan. Namun tempat ini cocok untuk duduk-duduk di tiang perahu sendirian seperti saya. Tanpa ada turis lalu lalang, atau wisatawan memakai bikini, hanya ada para brimob yang berlatih, rombongan diver yang diantar kapal nelayan sederhana, dengan mesin tempel yang terbatuk-batuk serta mengeluarkan asap hitam. Sepertinya kawasan yang berpasir putih dan ramai dikunjungi wisatawan bukan di area belakang penginapan ini.
Sudah seminggu lebih saya tour de java seperti ini. Hujan turun lumayan deras siang itu. Pantai sepi dan saya kelelahan. Besok saya harus berangkat pagi-pagi menuju tempat lainnya. Saya tertidur beberapa jam, dan terbangun saat hujan telah berhenti. Saya memutuskan untuk mencoba belajar diving sore itu juga karena besok tidak akan sempat.
Apa yang bisa dilihat di pantai usai hujan deras? Air laut sudah pasti keruh. Tingkat visibility jauh berkurang. Namun yang membuat saya bersemangat adalah pantai benar-benar kosong. Hanya ada tiga orang di situ. Mas Rauf, seorang pemandu, dan saya sendiri. Saya cepat-cepat memasang peralatan dan mencebur ke air.
Berat badan saya sekitar 50 kilo gram. Sementara total beban pemberat di pinggang dan tabung oksigen di punggung saya sekitar 35 kilo gram. Alhasil, saya langsung tenggelam. Pelajaran dasar dalam diving adalah belajar bernapas dan isyarat-isyarat dalam air.
Cara bernapas dalam diving sama dengan snorkling, bahkan lebih mudah karena ada tabung oksigen. Kalau dalam snorkling biasanya saya lebih sering menahan napas daripada bernapas lewat mulut, dalam diving, saya bernapas lebih alami berkat tabung oksigen yang terhubung. Sejujurnya, mengenakan tabung oksigen seperti ini, ingatan saya serta merta melayang ke para pasien yang kritis di rumah sakit. Mensyukuri bahwa saya hidup dan saya sehat. Sebuah karunia besar yang sering dianggap sepele.
Bukan apa-apa, bernapas dengan mulut itu gak enak. Hal itu baru saya rasakan ketika kami berada di kedalamaan beberapa meter. Saya baru menemukan beberapa ikan yang menarik perhatian, kami semakin jauh ke tengah. Belum lagi sepuluh menit saya berada di bawah air, tenggorokan saya sudah terasa sakit. Saya memberi isyarat untuk naik. Melepas masker cepat-cepat dan segera menghirup udara segar begitu sampai di permukaan. Baru hitungan menit ketika saya tidak bisa bernapas lewat hidung dan sungguh fungsinya tak tergantikan.
Berhubung saya tidak bisa berenang (can you imagine? Saya tidak bisa berenang dan nekad diving), saya menolak ketika diajak ke tempat yang lebih dalam untuk melihat terumbu karang yang beragam. Meski saya diberitahu bahwa kedalaman tersebut masih aman dan kami tetap sesuai dengan prosedur keselamatan, ketakutan saya masih lebih besar dibanding rasa penasaran saya. Jadilah kami hanya diving di kedalaman 4-5 meter saja sampai lebih dari satu jam kemudian dan saya diantar kembali ke penginapan.
Meski saya berada entah di mana, saya berbaring malam itu dengan perasaan puas. Mengingat berbagai petualangan yang saya lakukan selama ini. Tinggal satu hal yang saya masih penasaran : terbang dengan balon udara di Turki.
Ada yang mau ngajak saya? * wink. ;)
Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar
© backpackerindonesia.com
pd. 16 Mei 2014, 19.32
Wow asyik banget sis persis dengan bayangan saya betapa asyiknya perjalanan ke bromo dan ijen. tapi ini adl wisata alam jd harus kuat fisik dan bukan bagi si "cengeng".
usul sis biar lebih jelas dan bermafaat bagi rekan2 backpaker lain alangkah lebih baiknya utk menjelaskan biaya2 yg sdh dikeluarkan sis secara rinci, spt sewa jeep, makan, hotel, tiket masuk, jasa pemandu dsb.
memang di awal sdh dijelaskan tp belum mendetail. bukan apa2 sy heran trip ini lebih banyak turis asing yg berminat ketimbang anak negeri. pdhal dgn pemandangan yg dahsyat dan suasana alamnya yg cantik, akan sgt bagus utk memupuk rasa syukur dan cinta tanah air
btw, suprise sis tetap konsisten saat "time prayer" itu tanda anda traveller sejati. salute...dan coba sy contoh
love from jogja for u
Balas Suka 0jogjapacker