© backpackerindonesia.com
Dalam daftar 101 hal yang ingin saya lakukan sebelum mati. Lebih dari setengahnya berbau petualangan. Mulai dari punya rumah pohon sampai keliling dunia.
Beberapa minggu lalu, saya memeriksa jenis petualangan apa yang belum saya lakukan. Naik gunung? Sudah. Ke gua dan berbagai air terjun? Sudah. Hiking, keluar masuk hutan? Bukan hal aneh. Backpacker sendirian? Lumayan sering walaupun baru tingkat lokal. Naik turun tebing? Sudah. Bela diri? Sudah pernah (dan sekarang sudah lupa, hehe). Arung jeram? Bulan depan sepertinya saya akan melakukannya lagi. Snorkling dan body rafting? Baru sebulan lalu saya melakukannya.
Masih cukup banyak hal yang belum saya lakukan. Diving, berkuda, naik balon udara, dan sky diving. Berhubung saya belum tau info untuk balon udara, maka saya putuskan untuk melakukan penggantinya sementara : paralayang.
Sebelum ke paralayang, saya dan Icha, sepupu yang hobi motret memutuskan untuk ke Wisata Agro Gunung Mas demi menuntaskan rasa penasaran saya untuk berkuda.
Kenapa berkuda?
Hemh, ga tau ya? Mungkin ingatan tentang serial film Zorro di atas kudanya yang meringkik di atas kudanya, atau film-film Koboi yang saya tonton, atau film-film tentang para pemilik ranch yang hidup damai di pedesaan Amerika. Atau mungkin ingatan masa kecil film kartun tentang unicorn dan kisah kuda sembrani. Atau malah merk cat kuda terbang? Pendek kata, berkuda, itu salah satu hal sederhana yang cool banget di mata saya. Apalagi kalau lihat film atau lukisan kuda yang tengah berlari dengan surainya yang tergerai. Kelihatannya tangguh dan indah.
So, dengan sekali naik angkot dari Bogor jurusan Cisarua, kami bertolak ke tujuan. Saya sengaja ngajak Icha agar bisa saling foto bergantian, no picture, hoax, hehehe.
Bersyukur banget, abang supir yang baik hati mengantarkan kami sampai masuk ke tempat yang dituju. Untuk masuk ke tempat ini per orang dikenakan biaya 6000 rupiah. Karena abang angkot mengantarkan sampai masuk ke dalam, kami tidak dikenakan biaya apa pun. Alhamdulillah, rezeki.
Sampai di atas, kami mengambil beberapa spot untuk berfoto ria. Icha dengan kamera profesionalnya, saya cuma modal kamera ponsel.
Aha, belum lama berjalan, kami sampai di tempat penyewaan kuda. Setelah tawar menawar, kami menyewa dua ekor kuda untuk diajak berkeliling.
Rasanya berkuda? Ga beda jauh sama naik unta, cuma keliatan lebih gagah dan keren aja gitu.
Usai berkuda, kami menunggu angkot yang menuju ke masjid At-taawun. Dari sana, rencananya kami akan jalan kaki menuju spot paralayang. Namun alhamdulillah, setelah beberapa lama menunggu, angkot yang kami tumpangi ternyata memang angkot yang mengangkut parasut dari tempat pendaratan menuju titik start.
Karena kami menumpang angkot yang tepat, kami tidak dikenakan biaya masuk ke lokasi. Sebenarnya, bukan masalah tarif masuk ke kawasan gunung mas atau area paralayang yang kami anggap rezeki yang luar biasa, tapi tidak perlu berjalan kaki memutari gunung menuju tempat tersebutlah yang benar-benar kami anggap rezeki mendadak. Belum lagi jalanan menuju puncak yang sepi, tidak ada macet sama sekali. Alhamdulillah.
Keberuntungan kami tidak berhenti sampai di situ. Orang yang menumpang angkot tersebut ternyata adalah instrukturnya, alhasil, saya bisa 'mengetek' pendaftaran lebih dulu, dan bisa segera terbang tanpa perlu antri lama. Lagi-lagi, rezeki bertubi-tubi. Icha sampai tidak habis pikir merasakan kemudahan demi kemudahan perjalanan kami.
Saya mengisi surat pernyataan dan membayar biaya penerbangan. Lalu bersiap memakai alat. Untuk gantole, hanya bisa dilakukan oleh profesional. Sedangkan untuk paralayang, masih memungkinkan dilakukan orang awam dengan sistem terbang tandem. Bisa dibilang saya hanya menumpang terbang dengan instruktur.
Setelah mengisi formulir dan melakukan pembayaran, saya pun bersiap. Untuk sebuah peluncuran, cukup banyak juga yang bekerja. Selain instruktur tandem, juga ada yang membantu memasangkan alat keselamatan, ada yang memberi aba-aba dan membantu menarik peserta untuk take off, ada dua atau tiga orang yang membantu mengembangkan parasut, dan nanti saat di area pendaratan, sudah ada pula beberapa orang yang membantu.
Alat sudah dipasang. Selain helm, harnest, juga semacam bantalan empuk untuk duduk. Saya akan tandem dengan Kang Deden yang tadi saya temui di angkot. Kang Deden cukup informatif. Saya yang sudah googling sejak sebulan yang lalu merasa terbantu. Sesuai standar keselamatan, Kang Deden juga membawa parasut cadangan. Seseorang menjelaskan posisi ancang-ancang. Untuk mengambil posisi take off, saya harus berlari ke arah jurang dan tidak boleh berhenti.
W-what?
Serius nih?
Tida...kkk.
Asli, saya takut banget. Malah tanpa rasa malu, saya teriak : "Whoaa..., I'm scare..."
Rasanya seperti sengaja menyongsong kematian gitu. Lebih menakutkan daripada pertama kali belajar rappelling. *)
Ngeri.
Posisi Kang Deden masih membalikkan badan, siap dengan parasut. Saya tidak begitu ngeh sebenarnya karena sibuk menguatkan hati dan meredam rasa gentar. Saya berlari menuju jurang..., merasakan sejenak sensasi jatuh....
Tahu kan? Sensasi jatuh? Seperti kita bermimpi buruk jatuh dari ketinggian. Seperti kita naik Niagara, Kora-kora atau Tornado di Dufan dalam posisi melesat turun. Saat kita megap-megap beberapa detik mencari udara, ketika udara dari tubuh seperti naik ke atas dan jantung terasa melorot ke bawah pada saat yang bersamaan.
Aaaaaa......
Waktu seakan berhenti.
Tapi itu hanya berlangsung sepersekian detik.
Whush.
Detik berikutnya yang saya sadari, saya sudah melayang. Takjub, deg-degan, takut, tapi terpesona.
Oh my God.
Beberapa detik berlalu dalam ketidakpercayaan.
I’m flying.... finally.
Desir angin di pipi saya seolah menyadarkan bahwa ini nyata. Sensasi jatuh yang lembut. Seperti sehelai bulu atau daun yang gugur, melayang perlahan terbawa angin ke kiri dan ke kanan. ‘Kalau dilihat dari bawah, pasti keren sekali,’ pikir saya GR.
“Lepas aja tangannya,” ujar Kang Deden di belakang saya.
“Gak mau.”
Saya masih takut jatuh. Memegang erat-erat dua tali di depan saya seolah-olah nyawa saya tergantung di situ.
“Gak jatuh kok,” ucap Kang Deden lagi.
Saya masih ragu. Kalau di permainan di taman hiburan ada besi penyangga si sekeliling kita, atau kalau di lift, kita ada dalam ‘kotak aman’, kali ini, selain kemurahan Allah tentu saja, saya tergantung hanya pada sebuah parasut.
“Rasanya gak seperti naik pesawat ya?” tanya saja retoris.
“Gak. Ini benar-benar terbang seperti elang.” Kang Deden menjawab.
Saya mengangguk membenarkan.
“Awalnya paralayang dan gantole digunakan para pendaki gunung untuk mempercepat waktu turun kan?” Saya mengkonfirmasi info dari mbah google.
“Iya.”
Kang Deden melakukan beberapa manuver sehingga kami terbawa angin ke kiri dan ke kanan. Rasanya seperti akan terlempar ke udara. Saya ketakutan, tapi juga menikmati sensasinya. Dalam hati saya menyesal karena tidak ada yang memvideo-kan penerbangan perdana ini dari bawah.
Parasut sudah stabil kembali.
“Itu nanti tempat pendaratan kita?” Saya mulai berani menunjuk-nunjuk. Melepaskan satu tangan dari tali, meski tangan kanan masih menggenggamnya erat-erat.
“Iya, nanti saat mendarat, posisi kaki lurus ya?”
“Ooooh. Jadi nanti kita duduk?” Saya mengkonfirmasi.
“Iya, nanti saya kasih aba-aba.”
“Oke.”
Saya tidak tahu apa harus senang atau sedih. Meski hanya beberapa menit di udara, tapi terasa cukup lama karena penerbangan ini cukup pelan. Bukan seperti flying fox atau permainan artifisial yang kengeriannya hanya berlangsung beberapa detik. Sensasi paralayang lebih terasa setiap detiknya. Lebih bisa dinikmati. Cukup untuk membuat kekaguman, rasa syukur, dan adrenalin terpacu dalam waktu yang bersamaan. Namun rasanya tidak cukup lama....
Mengetahui bahwa kami akan segera landing, sejujurnya saya jadi agak sedih.
Kang Deden memberikan aba-aba. Saya meluruskan kaki. Mendarat dengan mulus di tanah. Beberapa orang dengan sigap membantu melepaskan peralatan dan membereskan parasut. Saya melenggang ke dalam angkot yang sudah menunggu untuk membawa saya kembali ke atas. Masih menyisakan sedikit rasa menyesal serta gemetar.
Saya diantarkan kembali ke lokasi penerbangan, berjalan mendaki sedikit dengan perasaan tak menentu. Bermacam emosi bercampur menjadi satu. Dari seluruh petualangan yang sudah pernah saya lakukan, ini adalah petualangan yang paling mendebarkan. Sensasinya luar biasa.
Icha sudah menunggu saya di pos. Setelah mengambil beberapa foto dan berbicang sejenak, saya mendaftar untuk sekalian melakukan flying fox yang memang sudah lama tidak saya lakukan. Sebenarnya saya ingin mengetes diri saya. Meskipun flying fox bukan suatu hal yang aneh, biasanya kalau sudah lama tidak melakukannya. Rasa takut akan kembali muncul.
Tapi setelah pengalaman berlari menuju jurang untuk take off, flying fox yang hanya berlangsung satu-dua menit tidak membuat saya ketakutan. Dalam skala satu sampai sepuluh, flying fox hanya saya beri nilai dua. Hehehe..., belagu. :D :/
*****
*) Rappelling : meluncur turun dari tebing. Posisi badan saat awal, harus miring, hampir menjatuhkan diri untuk menghindari benturan.
Lessons :
- Sering kali, kenyataan tidak seburuk apa yang kita takutkan kok.
- Ada kalanya kita harus berani ambil resiko, dan bilang pada diri sendiri : just do it! don’t think about the others
(Jakarta, 22 april 2013)
Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar
© backpackerindonesia.com
pd. 31 Mei 2014, 21.38
halo, sinta.
Balas Suka 0duh, maaf banget ya? saya jarang buka web ini, jadi baru kebaca sekarang pesannya.
saya lupa jalur angkotnya. Tapi kalo ga salah tinggal cari angkot jurusan cipanas aja dari bogor. Tanya aja yang lewat masjid At-Taawun.
pd. 17 Maret 2014, 12.34
hallo mba nur, :sayhi:
salam kenal.. aku sinta,
seru buat pengalamannya mba, jadi mau nyoba.. :akhirnya:
semoga suatu saat bisa merasakan terbang seperti itu, hehe :bigsmile:
kalau boleh info seputar angkotnya mba, rutenya mana saja ya mba? :keren:
Balas Suka 0terima kasih