© backpackerindonesia.com
nemu cuap cuap dari twitter yang ngarah ke blog ini >> http://efenerr.wordpress.com/2012/04/25/seberapa-travelerkah-anda/ bahasan yang cukup menarik menurut saya, bagaimana tanggapan traveller sekalian? yang paling menarik ada di kalimat ini >> "traveler menurut saya adalah seberapa besar seseorang menikmati proses traveling, menikmati perjalanannya, dan bagaimana dia membuat perjalanannya sendiri." setujukah kalian?
pagi ini harusnya saya ngopi dan sarapan, tapi gara-gara semalam membaca perdebatan tanpa henti tentang traveling yang membuat saya jengah dan mematikan komputer. pagi ini saya terusik dan ingin menuliskan beberapa sudut pandang tentang traveling. usikan itu muncul dari pertanyaan sekelebat di kepala “seberapa travelerkah anda?” . itu sebenarnya pertanyaan yang singkat namun bisa menimbulkan banyak jawaban dan perdebatan baru, jawabannya bisa tergantung persepsi masing-masing.
saya belum pernah ke luar negeri, jika ukurannya luar negeri skip saya saja sebagai seorang traveler. saya memang sedikit idealis tidak akan pergi ke luar negeri sebelum khatam indonesia, tapi toh idealisme itu luntur saat tahun ini akhirnya untuk pertama kali saya beli tiket ke luar negeri. saya tidak tahu kenapa, tapi banyak sekali yang bangga sudah keluar negeri, keliling asean, keliling eropa, ke china, ke india dsb. tak apa, traveling memang bisa menimbulkan rasa bangga. sama rasa bangganya ketika sudah sampai ke Papua dan penjuru Indonesia, walaupun rasa bangganya bisa berbeda.
Tapi toh agak lucu jika seseorang bisa dibaptis menjadi seorang traveler jika dia sudah keluar negeri. tapi tunggu dulu, bisa jadi itu karena kebiasaan orang indonesia yang menganggap luar negeri itu “wah” dan “keren”. tapi itu akan menjadi persepsi masing-masing, jika traveler diukur dari pernah tidaknya keluar negeri, jelas saya bukan seorang traveler. begitu? tunggu dulu, seorang Alexander Supertramp diakui sebagai traveler kelas dunia bukan saat dia keluar negeri kan? justru saat dia keliling negerinya sendiri kan?
Perdebatan merembet sampai buku travel budget. sebenarnya tidak ada yang salah kog dengan buku itu, silahkan mau baca buku itu, mau mempraktekkan apa yang ada di buku itu, itu terserah masing-masing saja. tapi saya punya pendapat sendiri dan bisa jadi bertolak belakang dengan isi kepala para penulis itu. ya, saya tidak bisa menikmati buku-buku seperti itu. memang detail, tapi saya tidak mau terjebak dengan isi buku tersebut sehingga saya akan berwisata menuruti apa yang tertulis di buku tersebut, itu akan menjadi sangat monoton dan juga saya punya cara mengatur budget saya sendiri.
tapi saya tidak mau munafik, saya juga pernah membaca buku tersebut, tapi saya belum pernah menggunakannya untuk traveling, entah kenapa tapi ada semacam ketidakcocokan. dan bagi saya, buku travel yang baik adalah yang bertutur, bukan yang mengajari cara traveling, toh semua orang bisa traveling tanpa perlu diajari. bagi saya buku traveling terbaik yang pernah saya baca sampai saat ini adalah Kepulauan Nusantara karangan Alfred Russel Wallace, silahkan googling untuk tahu siapa dia.
yang menggelitik adalah perdebatan sampai melebar ke hal-hal yang sebenarnya tidak penting untuk diperdebatkan. tunggu dulu, budgeting itu penting dan memang harus detail, buku travel budget memberikan gambaran tersebut. tapi tunggu dulu, saya punya pertanyaan : “Apakah Traveler Kelas Dunia Memakai Buku Travel Budget?”
Saya sendiri tidak tahu, tapi tontonlah film Into The Wild untuk mendapatkan sedikit pencerahan tentang budgeting. Bagaimana seorang Supertramp mengenyahkan hal keduniawian seperti uang. Dan dia hanya ingin berjalan, tanpa diganggu masalah uang. Moneyless, Budgetless. terasa sangat heroik memang, tapi toh Alexander Supertramp akhirnya tetap bisa menjelajah Amerika, di satu fragmen film tersebut ada kisah Alexander bekerja apa saja di sebuah restoran fast food. Dan saya yakin seorang Alexander pasti mengatur budgetnya sendiri, tanpa buku panduan. Bagi saya “that’s what world class traveler did, creating his own budget, making effort for his journey. Not only spending money to buy something cheaps like Indonesians did” .
Sebenarnya kata-kata yang saya garis tebal itu juga menampar diri saya sendiri. Saya suka sesuatu yang murah, mungkin itu naluri saya sebagai orang Indonesia? mungkin. Tapi trend ini tidak hanya menimpa orang Indonesia, para traveler di seluruh dunia pun pasti memilih sesuatu yang murah. Barangkali memang wisata murah sudah mewabah dan semua berlomba-lomba mencari yang paling murah.
Tapi jujur dalam hati, saya pun tak segan membayar mahal jika memang itu destinasi impian. Jika destinasi itu memang mahal, saya tak akan bersusah payah bermurah-murah, selama harganya sebanding. Kesannya kog jadi orang Indonesia jadi suka hal yang murah-murah, takutnya lama-lama terkesan murahan. Bangga dengan sesuatu yang paling murah, dan segala sesuatu yang murah lantas menjadi laris manis diborong orang, dipraktekkan dan tiba-tiba seluruh wisatawan dari Indonesia menuju destinasi yang sama, berlomba booking pesawat yang sama, makan-makanan yang sama, menginap di hotel yang sama. Semuanya sama.
Entah saya tidak mampu menggambarkannya dengan kata-kata tentang fenomena tadi, saya hanya merasa traveling itu tidak bisa dipaksakan, sesuai kemampuan. Tidak usah gengsi jika memang tidak bisa, toh traveling tidak melulu soal destinasi, tidak melulu soal murah tapi proses menikmati traveling itu sendiri. Toh, ukuran murah pun bisa sangat bervariasi.
Saya pernah bertemu Don Hasman, seorang yang dijuluki Tireless Traveler, maestro perjalanan dari Indonesia. Saya ngobrol banyak hal dengan Om Don. Om Don ini avonturir kelas dunia dari Indonesia, Saat orang Indonesia belum mengerti apa itu Nepal, beda dengan sekarang yang berbondong-bondong ke Nepal. Om Don sudah melancong ke Nepal, tahun 1978 sampai di ketinggian 6150 mdpl. Beberapa waktu lalu Om Don pergi ke Eropa melakukan perjalanan 1000 kilometer dengan berjalan kaki dari Saint Jean Pied de Port, Prancis hingga Katedral Santiago de Compostela, Spanyol. Menapaktilasi perjalanan reliji Santo Yakobus. Perjalanan itu ditempuhnya dalam waktu 35 hari. Dalam benak saya bagaimana Om Don merencanakan perjalanan tersebut? apakah dia membaca Lonely Planet? apakah dia membaca buku panduan budget? entah tak ada yang tahu.
Lain waktu bicara gadget, zaman sudah canggih gadget banyak dan variatif untuk traveling. Beberapa orang mungkin mlongo dengan gadget orang lain, kamera orang lain, GPS orang lain. Di benak saya, ya itu sesuai ukuran kemampuan, kalo memang dia punya gadget banyak dan mampu beli ya tak masalah kan? harusnya tak usah saling iri lalu memaksakan beli gadget untuk traveling. dibikin nyaman, gadget terbaik adalah gadget yang dipunyai sendiri dan gadget hebat adalah gadget yang nyaman untuk dipakai.
Mungkin ukuran traveler menurut saya adalah seberapa besar seseorang menikmati proses traveling, menikmati perjalanannya, dan bagaimana dia membuat perjalanannya sendiri. itu menurut saya, bagaimana dengan anda? Seberapa Travelerkah Anda?
Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar
© backpackerindonesia.com
pd. 17 Juli 2012, 8.58
[quote=mungkasmks]Membaca artikel mas, seperti bercermin dengan diri saya sendiri. saya selairan dengan mas. Saya masih terlalu idealis dengan keindahan negara ini, Indonesia. Bagi saya, blm menjadi seorang bangsa Indonesia kalau blm mengetahui negaranya sendiri. Bagi saya, lebih bangga sudah menapakkan kaki hingga ke tanah papua dibandingkan bolak-balik ke luar negeri sekelas Singapore. Terlalu indah untuk dilewati potensi negara ini. Hingga sekarang saya blm mengurus pasport.kalau ada pasport untuk wilayah Indonesia, saya akan mengurusnya lebih dahulu.
Saya juga sangat menikmati setiap fase dari perjalanan itu sendiri. sama seperti hidup. Fase mencari informasi tempat tujuan, fase packing, fase bertemu dan bersosialisasi dengan orang baru dan berkenalan, fase surpise, dan yang penting adalah fase kepuasan batin. Itu melebihi dari apa yang saya pikirkan.
Murah/mahal itu relatif namun dpt disiasati.
Bahkan, menurut saya ketersediaan gadget malah terkesan sedikit mengganggu selama melakukan perjalanan. Kebiasaan org indonesia yg self-esteem menjadikan melupakan fase sosialisasi. Saya menyukai sebuah tempat yg jauh dr jaringan komunikasi krn saya benar-benar bisa menikmati apa arti liburan dan perjalanan itu sendiri.
terimakasih utnuk sharingnya mas,
Mungkin jika ada kesempatan, kita bisa melakukan perjalanan bersama-sama, terutama ke indonesia timur.
regards,
Mungkas[/quote]
sama sama, tapi memang tiap orang punya style traveling sendiri sih, yang penting enjoy aja deh :D
Balas Suka 0pd. 11 Juli 2012, 18.38
Membaca artikel mas, seperti bercermin dengan diri saya sendiri. saya selairan dengan mas. Saya masih terlalu idealis dengan keindahan negara ini, Indonesia. Bagi saya, blm menjadi seorang bangsa Indonesia kalau blm mengetahui negaranya sendiri. Bagi saya, lebih bangga sudah menapakkan kaki hingga ke tanah papua dibandingkan bolak-balik ke luar negeri sekelas Singapore. Terlalu indah untuk dilewati potensi negara ini. Hingga sekarang saya blm mengurus pasport.kalau ada pasport untuk wilayah Indonesia, saya akan mengurusnya lebih dahulu.
Saya juga sangat menikmati setiap fase dari perjalanan itu sendiri. sama seperti hidup. Fase mencari informasi tempat tujuan, fase packing, fase bertemu dan bersosialisasi dengan orang baru dan berkenalan, fase surpise, dan yang penting adalah fase kepuasan batin. Itu melebihi dari apa yang saya pikirkan.
Murah/mahal itu relatif namun dpt disiasati.
Bahkan, menurut saya ketersediaan gadget malah terkesan sedikit mengganggu selama melakukan perjalanan. Kebiasaan org indonesia yg self-esteem menjadikan melupakan fase sosialisasi. Saya menyukai sebuah tempat yg jauh dr jaringan komunikasi krn saya benar-benar bisa menikmati apa arti liburan dan perjalanan itu sendiri.
terimakasih utnuk sharingnya mas,
Mungkin jika ada kesempatan, kita bisa melakukan perjalanan bersama-sama, terutama ke indonesia timur.
regards,
Mungkas
Balas Suka 0pd. 30 April 2012, 16.34
[quote=Arip]w ga bangga karna w bukan traveler tapi pelajar dg melakukan traveler.[/quote]
nice! yang lain?
Balas Suka 0pd. 26 April 2012, 5.59
w ga bangga karna w bukan traveler tapi pelajar dg melakukan traveler.
Balas Suka 0