© backpackerindonesia.com
Saat fajar menyingsing, kesibukan mulai terlihat pada hampir seluruh pelosok kampung. Deretan rumah-rumah panggung, seolah serentak bangun tadi tidurnya, memulai hari untuk menyambut puncak ritual yang telah ditunggu setelah sebulan penuh. Semuanya larut dalam kesibukan serta terbalut suasana kegembiraan.
Hari ini, para tamu dari berbagai kampung akan datang, pertanda pesta puncak segera dimulai. Seluruh warga pada setiap rumah, seakan berlomba untuk menyambut tamunya, kerabatnya, atau orang-orang yang sekedar hanya datang untuk menyaksikan ritual puncak.
Saat pagi, seluruh warga larut dalam kesibukan masing-masing. Para tamu dari luar kampung pun mulai berdatangan. Teriakan dalam bahasa Wehea mulai membahana memanggil warga untuk berkumpul pada beberapa tempat yang telah ditentukan.
Seksiang, tradisi perang Suku Wehea.
Hari ini, saatnya berpesta. Beragam persiapan telah pula selesai untuk gelar ritual. Di tepi Sungai Wehea, tampak beberapa perahu telah ditepikan. Ritual pertama siap digelar. Sebuah ritual perang-perangan dalam tradisi masyarakat Wehea yang selalu dilaksanakan pada puncak pesta panen tersebut sekaligus sebagai perlambang kesatriaan pendahulu mereka dimasa lalu.
Berkelompok mereka menuruni titian dan jembatan panjang yang ada menuju tepian sungai tempat perahu ditambat. Berpakaian tradisional yang dilengkapi dengan mandau dan perisai kemudian satu persatu menaiki perahu untuk menuju ke hulu sungai.
Perlahan dayung pun dikayuh. Sepuluhan perahu berlomba menuju hulu sungai, pada sebuah tanjung, untuk mengambil batang-batang rumput sejenis rumput gajah bernama weheang. Keriuhan karena teriakan-teriakan khas menjadi pelengkap persiapan. Mereka berlomba untuk memenuhi seisi perahu dengan tombak Weheang. Bayang-bayang perang-perangan tersebut terbersit dalam rona muka para pemuda Wehea. Sebentar lagi, mereka akan mempertontonkan serta melanjutkan tradisi pendahulu mereka.
Semuanya telah siap. Mengayuh mereka menuju bagian tengah sungai disertai teriakan-teriakan, sekaligus mencari tantangan untuk memulai ritual. Semuanya berlomba untuk menunjukan siapa yang paling kuat diantara mereka. Sungai Wehea pun seperti berubah. Puluhan tombak Weheang seolah beterbangan mencari sasaran.
Para pengunjungpun seakan tidak ingin melewatkan moment tersebut. Berjejer ditepi sungai dan jembatan kampung, mereka berbaur untuk menyaksikan para pemuda beradu ketangkasan dalam melempar tombak Weheang.
Tidak ada yang menang atau kalah dalam ritual tersebut. Semuanya berakhir tepat di bagian hilir kampung. Raut muka lelah membungkus wajah para pemuda. Sebuah episode awal dari ritual puncak telah dilewati. Kini saatnya untuk membersihkan diri melalui ritual lainnya, dalam ritual peknai, yaitu siram-siaraman dan menggoreskan arang pada wajah warga lainnya termasuk pada wajah pengunjung.
Setelah semua ritual awal dilaksanakan, saatnya beristirahat. Tanpa perlu membersihkan wajah yang penuh dengan goresan arang hitam, mereka larut dalam sebuah kegembiraan bersama. Seluruh rumah menyediakan aneka makanan yang dapat disantap oleh siapa saja, dan tidak ketinggalan adalah makanan khas yang menjadi menu wajib dalam semua ritual adat Wehea, yaitu pluq (lemang) dan sambal psooh.
Tak ada perbedaan apapun dalam tradisi makan bersama mereka. Para pengunjung tidak dibiarkan lewat begitu saja didepan rumah warga dan langsung diajaka untuk naik keatas rumah serta makan bersama dengan warga dan pengunjung lainnya.
Hudoq, Magis Lom Plai
Jelang sore, kampung semakin ramai, para pengunjung berdatangan dan mulai memenuhi sebuah tanah lapang tempat ritual dilaksanakan. Para tetua adat laki-laki dan perempuan dengan pakaian tradisional Wehea mulai memasuki lokasi ritual.
Berjalan perlahan menuju sebuah telkeak yang didirikan, sebagai tempat manaruh sesajen yang akan dipersembahkan kepada para penguasa alam.
Sementara itu terdengar jelas, paluhan gong dan tetabuhan tewung dari 2 arah berlawanan menjadi pertanda. Hudoq telah datang. Suara-suara khas Hudoq mulai terdengar, hentakan kaki beradu dengan bebunyian gong dan tewung.
Kibasan pakaian khas Hudoq dari dedaunan pisang serta beragam topeng Hudoq dan teriakan-teriakan khasnya seakan menciptakan suasana yang berbeda sore ini.
Kedua barisan penari akan bersatu dalam sebuah barisan panjang menuju telkeak dan berdiri dibelakang barisan para tetua adat perempuan yang duduk pada hamparan sebuah tikar rotan didepan telkeak.
Kini tiba saatnya untuk memanggil roh Hudoq yang dipercaya berasal dari dalam tanah, atas air dan dari khayangan. Suara nyanyian dari para perempuan adat membahana diseantero tempat ritual.
Mantra dan doa dalam bentuk nyanyianpun mulai dirapalkan. Bersamaan dengan itu, sesajen kepada para dewa telah pula disiapkan. Seekor anak ayam Sian dipersembahkan, ditambah dengan telur ayam kampung serta lekok keptiaq, turut menjadi pelengkapnya.
Menggunakan sebilah pisau khas suku Dayak, seorang tetua adat mulai memotong leher anak ayam kemudian darahnya dimasukan pada sebuah wadah untuk persembahan kepada para Hudoq. Secara berurutan, darah ayam dicerahkan pada seluruh penari Hudoq disertai taburan beras serta lekok keptiaq dan bersamaan dengan itu suara para penari Hudoq pun kembali membahana.
Hentakan kaki serta suara-suara khas bergema dan perlahan membentuk sebuah formasi melingkar bersatu dalam gerak dan irama paluhan gong dan tetabuhan tewung.
Suasana semakin meriah, saat Hudoq beraksi. Ribuan pasang mata seolah tidak ingin berkedip atau sekedar melewatkan moment tersebut. Para Hudoq benar-benar menjadi magis dalam ritual puncak. Gerak tari para penari Hudoq seakan membius siapa saja yang menyaksikan termasuk para fotograger yang tidak ingin kehilangan moment barang sedetikpun.
Saat sore perlahan mendekati senja hari, ritualpun selesai. Perlahan, para penari Hudoq serta penari lainnya meninggalkan tempat ritual, untuk kembali lagi bersama dalam ritual yang berbeda saat embos epaq plai, yang akan menjadi pertanda berakhirnya rangkaian ritual panjang selama masa pesta panen padi bernama Lom Plai.
Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar
© backpackerindonesia.com