Menyambut Puncak Lom Plai Suku Wehea di Nehas Liah Bing-Kalimantan Timur
Dipelataran sebuah rumah tengah kampung, tampak beberapa orang warga berkostum tradisional khas Dayak Wehea sedang bercengkerama dengan sesama mereka, sementara itu, dihalaman sebuah rumah, nyala api masih membara, menjadi pembakar sempurna bagi puluhan batang bambu yang berjejer rapi pada sebuah tungku kayu. Tampak juga, dihalaman rumah lainnya, seorang tua paruh paya sedang sibuk membalikan bara api, agar pluq (lemang) dapat matang secara merata.
Dibagian lain kampung, terdengar sendu suara seorang anak kecil yang merengek kepada ibunya, agar diijinkan untuk bergabung dan bergembira bersama sesama anak lainnya, untuk menari bersama pada sebuah tanah lapang dengan iringan paluhan gong dan tetabuhan tewung.
Malam itu (4/5/12), seluruh warga seolah hidup pada desahan nafas yang sama, satu dalam kegembiraan, untuk sambut malam puncak ritual pesta panen dalam tradisi Suku Dayak Wehea.
Sementara itu, bebunyian gong dan tewung seakan enggan beristirahat sejenak apalagi berhenti, terus berkumandang, bersama dalam irama dan nada, memanggil seluruh warga untuk segera berkumpul bersama dengan sesama saudara lainnya pada sebuah tanah lapang diberanda kampung.
Secara berkelompok, warga, seolah tidak ingin ketinggalan untuk bergembira bersama, berbondong-bondong menuju tanah lapang tempat dimana malam penuh kegembiraan dilaksanakan, tempat dimana mereka bersatu dalam hentakan kaki serta teriakan-teriakan khas sukunya dalam iringan nada dan irama dari bebunyian alat musik gong dan tewung.
Teng, teng, dung, teng, teng, dung. Suara bertalu dari alat musik gong dan tewung semakin membahana, memecah kesunyian malam seolah berlomba dalam sebuah gerak sama, dalam lenggokan tarian tumbambataq, njiak keleng, dan ngewai secara bergantian hingga menjelang fajar menyingsing.
Hentakan kaki, kibasan tangan, serta gerak kepala laksana gerak sama seolah mengajak warga untuk kembali kemasa lalu, memaknai kekayaan tradisi sekaligus sebuah bentuk tanggung jawab kepada pendahulu, bahwa pewarisan tak akan pernah lekang dimakan waktu.
Itulah malam jelang puncak ritual pesta panen Suku Dayak Wehea, di Desa Nehas Liah Bing, sebagai sebuah bentuk ungkapan dan rasa syukur warga Suku Dayak Wehea atas segala berkah yang diberikan, sehingga mendapatkan hasil panen yang melimpah ditahun ini.
Pesta panen padi atau biasa disebut Lom Plai dilaksanakan selama sebulan penuh, sejak ritual pembukaan yaitu Laq Pesyai dan ritual puncak yang biasa disebut mbob jengea dan kemudian ditutup dengan ritual embos epaq plai saat senja menjelang atau bersama hilangnya mentari diufuk barat.
Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar