Trending

Tanya & Jawab

Blog

Galeri

Teman jalan

Tour & Travel

Tujuan Wisata

Tags

Serunya Puncak Lom Plai (Pesta Panen) di Nehas Liah Bing_Wehea_Kutai Timur_Kaltim

Chris Djoka
Chris Djoka, pada 5 Mei 2012, 20.36
di Blog

Cuaca yang kurang bersahabat akibat curah hujan yang sangat tinggi dan menyebabkan hampir seluruh kampung Nehas Liah Bing terendam ternyata tidak menyurutkan langkah dan tekad dari warga Wehea di kampung tersebut untuk melaksanakan puncak pesta panen dalam tradisi mereka, tradisi Suku Dayak Wehea.

Melalu sebuah pengeras suara, sejak pagi hari (Sabtu, 5/5/12), pihak panitia pelaksana telah mengumumkan bahwa apapun kondisinya, puncak perayaan Lom Plai dalam Ritual Mbob Jengea yang didalamnya terdapat beberapa atraksi budaya, antara lain: Seksiang, Plaq Sai, Embos Min dan Hudoq, akan tetap digelar.

Kondisi kampung yang terendam pun tidak menyurutkan langkah para pengunjung dari luar kampung maupun warga yang menetap di dalam wilayah perusahaan terdekatpun seakan tidak ingin ketinggalan. Tampak pula beberapa orang wisatawan asing dari Canada dan USA terlihat ditengah-tengah para pengunjung.

Puncak Lom Plai atau Pesta Panen Padi dalam tradisi Suku Dayak Wehea memang telah menjadi magnet tersendiri yang sayang untuk dilewatkan sejak dilaksanakan secara besar-besaran pada tahun 2006 yang lalu.

Sekitar pukul 10.00 wita, ritual awalpun dimulai. Tepi sungai yang terendampun seolah tidak diperdulikan oleh para pengunjung untuk menonton atraksi budaya di tepi sungai Wehea tersebut. tampak 4 buah perahu berukuran panjang sekitar 17 meter dan didalamnya terdapat sekitar 15 orang pedayung perempuan bersiap untuk memulai Plaq Sai, sebuah lomba balap perahu secara tradisional yang masih hidup dan berkembang dalam tradisi Suku Dayak Wehea. Teriakan-teriakan khas pun mulai terdengar sebagai penyemangat bagi para pedayung perahu untuk memenangkan "lomba" tersebut.

Sementara itu, pada bagian hilir kampung, dibawah kolong sebuah rumah adat, telah siap sekitar enam orang perempuan tua dan muda, untuk melakukan ritual lainnya. Dijalanan kampung yang telah berubah menjadi sungai pun terlihat hilir mudik para pemuda kampung berbaju adat Wehea lengkap dengan lebung berbulu burung Enggang dan Kuau, serta dilengkapi Mandau (parang khas Suku Dayak di Kalimantan) bergerak secara berkelompok menuju tepi Sungai Wehea. Mereka akan melakukan ritual berikutnya, beradu ketangkasan melempar tombak dalam sebuah ritual perang-perangan bernama Seksiang.

Banjir tetaplah banjir. hukum alam tidak akan pernah dapat dilawan oleh manusia. Tetapi bagi warga Wehea di Nehas Liah Bing, walaupun kali ini alam kurang bersahabat kepada mereka, sebuah ritual terpenting dalam puncak perayaan Lom Plai bernama Mbob Jengea, yaitu ritual Embos Min tetaplah wajib dan harus dilaksanakan. Perlahan enam orang perempuan muda dan tua berbalut pakaian adat Wehea bergerak perlahan keluar dari kolong rumah adat, menuju bagian hulu kampung dalam ritual Embos Min.

Dikawal oleh 2 orang tua pada bagian depan dan belakang barisan, mereka berjalan menembus banjir dan kemudian menaiki sebuah perahu untuk ritual tersebut. Perahupun ditarik dan tanpa memperdulikan derasnya arus air, perlahan menuju tempat yang tidak terendam di hulu kampung.

Sebuah ritual terpenting dalam tradisi puncak perayaan Lom Plai akhirnya tetap terlaksana. Embos Min, bermakna memulihkan atau membersihkan kampung dari segala sesuatu yang jahat serta mendoakan agar dikemudian hari warga seluruh kampung terhindar dari berbagai gangguan jahat telah terlaksana dengan baik walau dalam kondisi yang memprihatinkan serta alam yang kurang bersahabat.

Kembali ke tepi Sungai Wehea, ribuan pasang mata seolah tidak ingin berkedip ketika perahu-perahu berisikan para pemuda Wehea bergerak menuju bagian hulu sungai, kesebuah tempat tujuan dimana terdapat banyak rumput Weheang (sejenis rumput gajah yang banyak tumbuh ditepi sungai) sebagai sarana untuk menjadi tombak dalam ritual perang-perangan bernama Seksiang.

Derasnya arus sungai akibat banjir, cuaca yang berubah panas terik, seolah menjadi pelengkap yang kontras saat ritual puncak tersebut. Sejam berlalu, teriakan-teriakan mulai terdengar membahana bercampur dengan teriakan khas dari tepi-tepi sungai tempat para warga lainnya serta pengunjung dari luar kampung berada.

Tombakpun berterbangan dan mulai mencari sasaran. Para penombak berdiri dengan gagahnya, berupaya melempar tombak Weheang sekuatnya sambil berusaha menyeimbangkan perahu agar tidak tenggelam. Puluhan perahu seketika menghiasi sungai Wehea dibelakang kampung Nehas Liah Bing, sementara batangan Weheang pun mulai larut terbawa air sungai yang deras.

Penontonpun bersorak ketika terdapat perahu yang terbalik. Tetapi dengan sebuah kegigihan dan dengan semangat untuk mengingat kembali kesatriaan para leluhur mereka yang telah mewariskan tradisi tersebut, dengan cepat mereka menyelamatkan diri untuk kembali kedalam perahu serta kembali melanjutkan ritualnya.

Ritual Seksiang pun akhirnya berakhir dihilir kampung, saat semua perahu harus menepi serta saat semua Weheang telah habis dilemparkan, dan disaat ritual lainnya sudah menunggu.

Byuuur, byuur, byuuur. Prosesi siram-siraman pun langsung dimulai disepanjang jalanan kampung. Dari anak-anak hingga remaja, bahkan orang tua dan ibu-ibu bersiap dengan wadah tertentu untuk memulai prosesi Peknai. Tampak pula puluhan orang, lengkap dengan arang hitam bersiap untuk menggoreskan arang ke wajah siapa saja yang ditemui.

Tidak ada yang terlewatkan. Siapapun yang melewati jalanan kampung akan langsung disiram dan diarangi, baik diantara warga Suku Wehea sendiri, maupun pada para pengunjung yang datang saat ritual tersebut. Benar-benar meriah. Seorang warga kampung pun sempat berujar, walaupun banjir tetapi justru semakin ramai.

Alam yang kurang bersahabat dan menyebabkan sebagian kampung terendam, ternyata tidak menyurutkan sedikitpun tekad mereka. Ritual puncak pesta panen, yang telah lama ditunggu, akhirnya tetap dilaksanakan. Plaq Sai, Seksiang, Embos Min dan Peknai telah dilalui tanpa ada halangan berarti. Kini, saatnya untuk beristirahat sejenak untuk membersihkan diri serta mengisi energi baru dengan bersantap siang bersama.

Semua rumah menghidangkan beragam aneka masakan. Ada beragam jenis makanan yang umum kita temukan pada hampir setiap rumah warga, tetapi yang lebih khusus dan menjadi menu wajib adalah tersedianya Pluq (lemang-nasi ketan yang dimasak dalam bambu) serta Beang Bit (semacam dodol dari ketan) dan tentunya Pcook (sambal khas Wehea) yang terkenal pedas dan lezat. Setiap warga atau pengunjung yang lewat, diajak naik ke beranda rumah untuk sekedar mencicipi atau makan bersama dengan tuan rumah. Benar-benar saatnya berpesta. Semua hidangan dapat disantap oleh siapapun tanpa perlu takut akan kaidah halal atau haram.Bagi para tuan rumah, hadirnya pengunjung untuk santap bersama adalah berbagi, karena mereka percaya dengan mengajak warga lainnya serta para tamu dari luar kampung untuk santap bersama tersebut juga adalah berkah bagi mereka.

Saat energi telah kembali, kini saatnya menyaksikan atraksi budaya lainnya dalam sebuah gelaran Hudoq pada sebuah tanah lapang di beranda kampung Nehas Liah Bing. Ribuan pengunjung tumpah ruah mengelilingi lapangan berpagar kayu ulin sebagai pembatas. Sementara itu, diseberangnya, pada sebuah tangga besar Balai Budaya Wehea, berubah layaknya tribun penonton dalam stadion sepakbola. Tidak ada yang tersisa. Pada bagian lainnya, dibawah teduhan pepohonan, warga dan para pengunjung lainnya tampak tidak sabar menunggu datangnya para penari bertopeng yang terbungkus oleh dedaunan pisang.

Tiba-tiba, paluhan gong dan tabuhan tewung (gendang panjang khas Wehea)pun berkumandang dari tengah tanah lapang. Dari arah Balai Adat Wehea, serombongan penari berbalut topeng dan daun pisang perlahan menuju tanah lapang, bersatu dalam irama dan gerak, dalam hentakan-hentakan kaki yang serasi serta teriakan khas.

Hudoq telah datang. Sesajenpun disiapkan. Seeokor anak ayam serta beberapa butir telur dan lekok keptiaq tidak ketinggalan. Melalui sebuah pengeras suara. seketika terdengar rapalan mantra dan doa, diiringi sebuah suara mendayuh, dari seorang perempuan renta dan dengan telinga berhiaskan sepuluhan anting besar dari perak melagukan Nluei untuk memanggil para roh Hudoq serta dewa-dewa penunggu kampung serta penguasa alam, untuk "merasuk" dalam diri para penari. Sebuah atraksi budaya penuh makna berbalut suasana mistis. bersamaan dengan berakhirnya Nluei dan memberi sesajen, teriakan khas Hudoq langsung terdengar membahana pada seantero tanah lapang yang langsung disambut dengan bebunyian gong dan tewung dan serta merta membentuk sebuah lingkaran besar. Hudoq pun beraksi dan hentakan kaki dan seirama dalam gerak, seolah membius para penonton yang memadati tanah lapang tersebut.

Mengikuti Hudoq, warga lainnya mulai dari anak-anak hingga orang tua berbalut pakaian khas Suku Wehea pun akhirnya menyatu, dalam sebuah gerak tari bernama Tumbambataq dan secara bergantian diiringi dengan tari Njiak Keleng dan Ngewai. Mata seolah tidak ingin berkedip, atau sekedar melepas pandangan. Hudoq dan para penari lainnya benar-benar menjadi magnet bagi seluruh warga dan para pengunjung dari luar kampung dan mancanegara.

Akhirnya, menjelang senja, bersamaan dengan menghilangnya mentari diufuk barat, dalam sebuah suasana kegembiraan bersama, perlahan sekelompok manusia bertopeng aneka jenis dalam balutan topeng Hudoq serta terbungkus pakaian khasnya dari dedaunan pisang yang menjadi magis dan magnet utama dalam puncak perayaan Lom Plai meninggalkan tanah lapang yang juga menjadi pertanda bahwa ritual puncak telah berakhir, dan kemudian bersiap untuk menyambut ritual lanjutan dalam ritual Ngeldung hingga penutupnya dalam Embos Epaq Plai..............


Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar

Chris Djoka
Chris Djoka
Chris Djoka Newbie
pd. 16 Mei 2012, 23.11

Suka 0

© backpackerindonesia.com