© backpackerindonesia.com
Jakarta, juni 09th, 2012.
Matahari belum sepenuhnya menampakan sinarnya. Ditambah lagi, sisa hujan masih membasahi sebagian kota Jakarta yang sejak semalam terus di guyur hujan yang cukup lebat. Tentu saja membuat sebagian warga jakarta dan sekitarnya enggan untuk beranjak dari hangatnya tempat tidur. Tapi tidak dengan aku dan beberapa orang yang terpaksa harus melakukan perjalanan keluar Jakarta, baik itu traveling, bekerja, atau melakukan kegiatan lainnya. Yah, mau tidak mau harus beranjak dan meninggal tempat tidur menuju tempat atau tujuan yang sudah terjadwal sebelumnya. Hari ini aku akan melakukan perjalanan mengunjungi sebuah desa terdalam di propinsi Banten, tepatnya desa Badui Dalam kabupaten Lebak.
Berikut ini hasil secuil catatan perjalanan mengunjungi desa Badui Dalam.
Tepat pukul 06.00 aku bertolak menuju stasiun kereta api di tanah abang sesuai jadwal dari penyelenggara trip dadakan ke desa badui. Setibanya di sana, belum tampak wajah-wajah backpacker yang menunjukan ciri akan melakukan perjalanan yang sama dengan ku menuju desa badui. Tapi sepertinya, stasiun kereta api tanah abang tak pernah tidur. Selalu di penuhi oleh warga Jakarta yang terpaksa harus tidur di area stasiun. Baik karena sengaja ataupun karena memang tidak ada tempat tinggal untuk bermalam. Para pemburu tiket kereta jurusan beberapa kota di jawa tengah sudah berbaris mengular di depan loket penjualan tiket. Padahal loket akan di buka beberapa jam kemudian.
Wajah-wajah kusut itu berharap bisa mendapatkan tiket untuk perjalanan menuju kota mereka masing-masing. Aku hanya bisa bersyukur tidak pernah merasakan hal semacan ini selama tinggal di Jakarta. Beberapa penjaga keamanan stasiun masih ada yang berjaga-jaga untuk mengantisipasi keamanan stasiun. Suara kendaraan di laur area stasiun saling bersautan laksana parade karnaval kendaraan berhias. Suara bajaj yang paling mendominasi dan memiliki khas tersendiri dari suara kedanran lainnya yang masih sedikit lebih ramah menyambut pagi.
Hari semakin terang, kereta pertama dari stasiun koneksi ke tanah abang telah tiba di stasiun kereta tanah abang. Aku tidak tahu persis dari mana asal kereta itu datang, karena aku sendiri tidak hafal rute dan jadwal perkereta-apian di ibu kota. Aku masih berdiri sendiri di antara hilir-mudiknya pengunjung stasiun kereta dengan barang bawaannya masing-masing. Satu persatu mulai ada yang mendatangiku dan bertanya mengenai tujuan yang sama yaitu "desa badui". Akhirnya terkumpulah beberapa orang yang mengalir begitu saja menambah keramaian stasiun kereta api tanah abang. Perkenalan sederhanapun terjadi tanpa perlu di komando. Karena pihak penyelenggarapun sejujurnya aku tidak tahu menahu secara fisik, hanya kenal lewat jejaring sosial "Facebook".
Tiket kereta jurusan tanah abang-rangkasbitung akhirnya di bagikan setelah menunggu beberapa teman peserta yang lain. Tepat pukur 07.50 kereta bertolak menuju stasiun kereta api rangkasbitung. Tujuan akhir dari perjalanan kereta api adalah rangkasbitung, yang akan di capai sekurangnya satu jam lima menit. Perjalanan begitu saja berlari menuju rangkasbitung. Kami beberapa peserta traking dadakan mencari tempat duduk masing-masing sesuai kehendak hati. Obrolan di antara pesertapun masih terdengar belum seakrab layakya teman yang saling mengenal. Rata-rata masih sebatas hal-hal wajar, karena kita semua masih menyesuaikan alur pembicaraan masing-masing.
Belum genap dua jam, kereta sudah sampai di stasiun kereta api rangkasbitung. Yusuf, penyelenggara traking dadakan menemui kang emen yang notabene adalah pemuda dari suku badui luar. Dia sudah menunggu di stasiun rangkasbitung sebelum kami tiba dari jakarta. Karena rombongan kami datang lebih awal dari jadwal kereta yang sebenarnya, akhirnya kami di beri waktu untuk sekedar mengisi tenaga dan menikmati kawasan stasiun rangkasbitung oleh yang ketua rombongan. Selain itu, karena juga masih menunggu peserta lain yang datang bukan dari Jakarta, lebih tepatnya dari Cilegon Serang. Aku dan yang lain mencoba keluar area stasiun untuk mencari makanan untuk sekedar mengisi perut yang masih kosong. Aku sengaja tidak mengisi perut dengan nasi, selain tidak terbiasa sarapan pagi aku melihat warung-warung makan yang ada kurang terlihat menarik untuk di cicipi masakananya. Aku memilih mencari roti dan minuman kaleng untuk mengisi perut yang kosong.
Ketua rombongan kami sudah menghubungi dan mengurusi seluruh kebutuhan untuk menuju desa bernama "Ciboleger". Desa tersebut adalah titik awal kami untuk melakukan perjalanan panjang sejauh 12km sampai menuju desa Badui dalamnya. Transportasi yang akan membawa kami sudah menunggu di terminal bis elf yang akan mengantar kami ke desa Ciboleger. Satu persatu peserta traking masuk dan memilih tempat duduk masing-masing di dalam bis elf. Aku memilih di bagian kursi paling belakang, tak lain adalah untuk bisa tidur selama perjalanan menuju desa Ciboleger. Tak perlu menunggu lama, bis elf langsung tancap gas meninggalkan keramaian stasiun kereta api rangkasbitung.
Selama perjalanan menuju desa Ciboleger, aku tak bisa memejamkan mata. Memang tidak terlalu mengantuk dan sesungguhnya aku ingin menikmati pemandangan alam desa-desa yang di lewati. Pukul 12 siang bis elf kami sudah sampai di desa Ciboleger. Begitu turun dari bis, tampak semacam tugu patung "selamat datang" menyambut kami dan setiap warga luar dari desa Ciboleger. Tampak dalam patung itu menggambarkan satu keluarga petani yang sepertinya sengaja dijadikan icon desa Ciboleger. Walaupun terlihat sudah tidak terawat dan di tumbuhi lumut di sana sini, tapi tulisan di bawahnya masih bisa terbaca, “Selamat Datang di Ciboleger”. Sampai di desa Ciboleger aku dan rombongan istirahat, makan, dan sholat. Banyak terdapat warung-warung kecil yang menjual makanan dan souvenir khas suku Badui.
Desa Ciboleger juga memiliki toko modern, seperti yang banyak kita jumpai di Jakarta. Jadi kita tidak perlu repot-repot membawa perbekalan makanan dari Jakarta. Aku tidak membeli apa-apa karena aku sudah mempersiapkan semuanya dari awal keberangkatan. Di desa Ciboleger juga ada masjid yang cukup besar dan toilet umum di dekat terminal Ciboleger. Terdapat beberapa pilihan tempat makan dengan bermacam menu yang ditawarkan. Nasi, sayur asem, dan telur dibandrol 10.000.IDR dan aku hanya memesan makanan ala kadarnya, karena lagi-lagi aku tidak yakin dengan kebersihannya. Hanya menikmati nasi putih, sayur tahu, dan telor dadar di bandrol 8.000.IDR saja plus air putih hangat. Itupun tidak aku habiskan karena aku menjaga agar di tengah perjalanan tidak terganggu oleh hajat besar yang akan sangat sulit di laksanakan.
Badui Luar
Sekitar tiga pemuda asli suku Badui dalam sudah menunggu kedatangan kami di desa Ciboleger. Mereka akan menjadi guide dan porter untuk mereka yang tidak sanggup membawa beban di pundaknya. Dua diantara pemuda Badui Dalam itu bernama Syafri dan Yardi. Sekilas aku tidak percaya kalau kedua pemuda itu adalah suku asli dari Badui dalam. Tampang mereka sangat lugu dan polos. Dengan senyumnya yang khas membuat peserta perempuan bergantian untuk meminta berfoto bersama mereka khususnya Syafri dan Yardi. Tampang "cute"nya menyihir wanita manapun yang melihatnya, karena tak kalah good looking nya dengan artis-artis layar kaca ibukota. Dan aku yakin kalau kedua pemuda ini di poles dan di beri sentuhan khas anak muda Jakarta, pasti sudah laris manis menjadi bintang iklan. Dari desa Ciboleger kami akan melanjutkan perjalanan memasuki desa Badui Luar, desa yang sudah bisa menerima warga luar desanya serta modernisitas. Turis dari manapun di perbolehkan datang dan menikmati keunikan desa Badui luar, tidak terkecuali untuk turis mancanegara. Terbukti saat kami berada di desa Badui Luar, ada sekitar tiga warga Negara asing yang sedang menuruni anak tangga menuju keluar desa Badui Luar.
Pukul 01.30 siang kami lanjutkan perjalanan memasuki desa Badui Luar. Hamparan biji cengkeh yang tengah di jemur di depan rumah memberikan aroma khas pedesaan. Jalanan terus menanjak wajar, setelah mendaki anak tangga berbatu keras sekitar 100 meter, kami mendapati perbatasan antara desa Ciboleger dan desa Badui Luar. Kami tidak melakukan registrasi untuk masuk ke desa Badui Luar dan desa Badui Dalam, karena sudah di urus oleh kang Emen pemuda Badui Luar sebagai fasilitator kami yang mengurusi semua administrasi dan penginapan di Badui Dalam nantinya. Aku sangat menikmati suasana desa Badui Luar yang memang berbeda dengan kampung-kampung di tanah jawa lainnya. Setiap rumah masih berbilik bambu dan beratap ilalang atau rumbia. Tidak sulit trakking menuju perkampungan Badui Luar. Anak-anak tangga di jalan berbatu saat menyusuri jalan-jalan kampung seolah menjadi pertanda bahwa pembangunan di Indonesia belum sampai ke desa Badui. Setiap pijakan kaki ku masih merasakan betapa kerasnya batu yang menjadi landasan di atas anak tangga. Adalah jenis batu kali yang sengaja ditaburkan di setiap jengkal jalan untuk menahan tanah menjadi licin ketika hujan turun.
Rupanya cuaca sedang berpihak pada kami. Sebuah kampung langsung kami temui. Kampung yang seluruh rumahnya terbuat dari kayu, bilah bamboo dan material alami lainnya. Pasak-pasak rumah dan bangunan lainnya yang menjuntai vertikal tidak langsung berpijak pada tanah, tapi ada batu-batu kali atau batu koral yang menghubungkan pasak tersebut dengan tanah. Metode yang dipakai penduduk Badui ini memang jauh lebih tahan gempa dibanding bangunan beton seperti yang banyak kita jumpai di kota. Atap rumah terbuat dari daun ilalang atau ijuk kering yang harus diganti setiap sepuluh tahun sekali. Apa mereka tidak takut terbakar waktu musim kemarau? Begitu Tanya hatiku. Konstruksi dan bahan rumah tersebut tidak berbeda jauh dengan leuit. Leuit atau lumbung padi merupakan tempat bagi penduduk Badui menyimpan cadangan beras/padi. Hanya saja, leuit lebih pendek dan lebih ramping di banding dengan bangunan rumah tinggal.
Capek, lelah, keringatan dan kehausan sudah pasti di rasakan oleh semua peserta trekking karena berjalan kaki menaiki jalan menanjak. Tapi tidak bagi pemuda badui atau warga badui lainnya yan sesekali kami temui selama perjalana. Mereka tak sedikitpun terlihat kepayahan seperti kami, mereka tak merasakan hal yang tengah kami alami. Maklumlah, mereka sudah sangat terbiasa dengan medan yang terjal dan menantang seperti ini. Berbeda dengan tenaga kami yang sudah banyak di ganti oleh mesin-mesin dalam kegiatan harian. Keringat sudah membasahi tubuh dan jantungku terasa begitu terbakar. Entah seperti apa harus di lukiskan dengan kalimat yang sempurna untuk menggambarkan kepayahan yang kami alami.
Demi mencari sesuatu yang berbeda, aku rela menjalani ini semua. Pikirku, ini adalah uji kekuatan untuk perjalananku nanti di Swiss, German dan Spanyol. Tapi entahlah, aku sudah pernah melakukan trekking di di pegunungan Austria ketika musim dingin awal tahun ini. Aku yakin medan nya akan sangat berbeda dengan trekking menuju suku Badui Dalam. Sesekali aku mengumpulkan nafas untuk mensuplai oksigen ke paru-paru. Sebuah bilah bambu panjang melintang di tengah perjalanan sesekali dapat kita temui. Air jernih mengalir menjadi sebuah kekuatan tersendiri untuk menambah stamina dan tenaga selama pernajanan. Mata air yang keluar dari celah-celah bukit dan mengalir di antara bilah bamboo itu untuk bisa di minum. Mungkin konsepnya seperti air kran di taman-taman di eropa yang bisa kita nikmati langsung di saat kita tengah melakukan olahraga.
Suku badui menerapkan juga dalam bentuk yang berbeda. Inilah rahasia orang Badui bisa bertahan dalam melakukan perjalanan berkilo-kilo tanpa membawa air minum. Lubang-lubang di bagian atasnya memungkinkan tangan untuk masuk dan mengambil air yang mengalir di dalam lubang bambu. Airnya sangat jernih dan tidak keruh. Aku memang sengaja mencoba meminumnya da masukkan air dari mata air itu ke dalam botol minuman. Ternyata tidak ada sedikitpun gejala sakit perut atau mengeluh mulas. Aku tidak terlalu memikirkan akan sakit perut atau tidak, karena aku yakin air mata air itu bersih. Untuk sekedar memberikan rasa dingin dalam tubuh aku meneguk beberapa kali air jernih yang sudah tidak bisa kita dapatkan di kota modern seperti Jakarta.
Dalam perjalanan, pemandangan alamnya begitu indah. Bukit-bukit menjulang tinggi seperti menertawakan langkah kami yang semakin melambat. Peluh terus bercucuran dnamun bayangan sebuah kampong Badui Dalam terus melekat erat di benak kami. Dengan sisa tenga yang ada, selangkah demi selangkan kami semakin jauh dari kampung Badui Luar. Entah sudah berapa bukit kami lalui dengan kemiringan bervariasi. Kadang menukik tajam menuruni jalan setapak diantara lebatnya hutan produktif atau hutan liar. Perjalanan yang benar-benar luar biasa untuk mencapai kampong Badui dalam. Mengajar kita akan hidup, bahwa sesungguhnya hidup itu sudah memiliki tujuannya sendiri, nikmatilah prosesnya yang berliku dan tak biasa.
Badui Dalam
Akhirnya satu persatu dari kami tiba di sebuah jembatan bambu yang membuat kami berdecak kagum. Selain decak kagum, juga karena berakhir sudah perjalanan panjang kami sejauh 12km dari desa Ciboleger. Air sungai yang begitu jernih dan di naungi oleh rumpun bambu besar dan kecil yang membuat sungai semakin adem. Sangat mengundang semua orang yang baru datang ke wilayah desa Badui Dalam untuk masuk ke dalam sungai. Tapi kami masih harus melanjutkan beberapa langkah menuju rumah warga yang akan menjadi tempat kami menginap. Semua bentuk bangunan rumah terbuat dari kayu dan bilik bamboo dengan atap ilalang yang sudah berwarna coklat.
Beberapa warga setempat hilir mudik diantara pengunjung lain. Mereka tak menegur kami para pengunjung, tapi sesekali hanya memandang kea rah kami. Aku sendiri tak berani bertegur dengan warga local, karena takut menyalahi aturan adat yang ada. Namun hanya tersenyum saja, itupun tak di balas senyum. Seperti membiarkan begitu saja, tapi ada juga yang memberikan senyum balik ketika kami berusaha tersenyum. Aku yakin mereka memiliki aturan adat setempat untuk tidak melakukan komunikasi secara berlebihan dengan warga pendatang.
Anak-anak Badui dalam bermain alakadarnya dengan pakaian yang hampir seragam, berwarna hitam dan putih. Dengan ikat kepala putih dan menggunakan aksesoris gelang dan kalung khusus dari dukun setempat. Kaum wanita, banyak dari mereka yang menggunakan pakaian tertutup, tapi aada juga yang hanya mengenakan penutup tubuh sebatas dada saja. Warna kain yang merekan gunakan tidak berbeda warna, semua dalam nuansa hitam dan putih. Dua warna kehidupan yang sangat kental sisi baik dan buruk. Hampir semua kaum perempuan menggunakan gelang atau cincin silver. Sementara emas seeprtinya di haramkan untuk di gunakan masyarakat kampung Badui dalam. Mereka memilih dalam kesederhanaan yang tak membuat perbedaan diantara mereka dalam bersosialisasi.
Citra sederhana dan bersahaja sangat menonjol ketika masuk di perkampungan Badui Dalam. Tidak terdapat tanda-tanda dari modernisitas sebuah komplek hunian apalagi pusat perbelanjaan mewah. Komunitas suku Badui Dalam di huni oleh sekitar 600 jiwa yang masih sangat kuat memegang teguh keaslian adat istiadat. Badui Dalam seperti tidak pernah merubah cara atau pola hidup mereka dari jaman ke jaman. Bentuk bangunan yang sangat sederhana menjadi suatu ciri khas dan keunikan tersendiri bagi para pengunjung yang sudah terbiasa dengan kehidupan manusia era digital. Kita tidak akan pernah menemukan bangunan beton atau gemerlap dan megahnya gedung-gedung pencakar langit. Yang sebenarnya akan kita temukan adalah kehidupan yang sederhana dan bersahaja. Keheningan dan suasana tenang tanpa ada kerusuhan apalagi kemacetan. Terdapat sebuah tanah lapang sebelum aku masuk jauh ke dalam perkampungan Badui Dalam. Tanah lapang itu berfungsi sebagai arena untuk acara-acara yang bersifat ritual besar, seperti upacara sebelum menanam padi dan lain sebagainya.
Jujur aku mengunjungi kampung Badui Dalam karena ingin merasakan suasana desa yang terpencil di tengah hutan belantara. Jauh dari modernitas dan kejumawaan manusia di dalamnya. Aku ingin menikmati keunikan yang sudah sangat langka dan kita temui di jaman abad millennium. Menikmati air sungai yang jernih dengan suara cicit burung di atas dahan. Aku dan semua rombongan masuk ke dalam sebuah bangunan rumah panggung yang sangat sederhana. Kami akan bermalam di rumah warga setempat dan satu rumah dengan sang pemiliknya. Begitu kami masuk ke dalam bangunan rumah, tidak tampak perabot rumah seperti kursi meja, atau dipan. Apalagi televise, kulkas dan lain sebagainya. Bangunan rumah yang kami tempati tidak seperti sebuah resort di gili terawangan atau resort-resort di Bali.
Hari semakin gelap. Perkampungan Badui Dalam yang berada di tengah hutan dan dataran rendah, semakin jauh dari cahaya matahari. Rimbun pepohonan dan rumpun bamboo menyelimuti seluruh kampung. Pencahayaan di dalam rumah menggunakan pelita atau lilin yang di bawa oleh pengunjung dari luar. Tikar daun pandan menjadi alas kami untuk tidur malam. Tidak ada kasur empuk apalagi springbed, sungguh sebuah kesederhanaan yang sudah sangat sulit kita jumpai saat ini. Begitu berbeda dengan kehidupan yang aku jalani di Jakarta. Aku sangat menyukai desa Badui Dalam yang masih memegang teguh pada adat dan kebiasaan yang turun terumun. Sebelum hari benar-benar gelap kami dari beberapa peserta akan mandi di sungai untuk membersihakn tubuh yang sudah basah oleh peluh selama perjalanan panjang dari desa Ciboleger menuju desa Badui Dalam. Tapi rasa lelah memaksa kami untuk beristirahat sejenak sebelum membersihkan tubuh di air sungai yang jernih.
Selepas Magrib, suasana desa benar-benar sepi dan gelap. Aku nyaris tak bisa melihat satu-persatu dari perserta yang datang bersamaan atau pemilik rumah dan warga setempat. Di depan mataku semua terlihat hitam pekat. Hanya sesekali terdengar tangis anak kecil dan suara obrolan orang-orang berkumpul di teras-teras bamboo di depan rumah. Cahaya langit tidak terlalu mampu menyinari pekatnya malam desa Badui Dalam. Kami memutuskan untuk pergi mandi di sungai dalam kegelapan. Rata-rata dari kami merasa malu untuk membersihkan tubuh dengan tempat yang terbuka di sungai. Dengan membawa cahaya dari lampu senter, kami langsung menuju sungai yang sudah gelap. Tapi karena pergi ke sungainya bersama-sama rasa takutpun hilang seketika. Satu persatu kami masuk ke dalam air sungai yang ternyata sangat dingin. Namun sangat menyegarkan dan menghilangkan rasa penat dan lelah.
Tidak ada aktivitas di malam hari. Biasanya warga lokal Badui Dalam hanya bercengkrama dengan sesama keluarganya atau tetangganya. Kami sesama peserta hanya bisa ngobrol-ngobrol di teras rumah dengan menikmati secangkir teh panas dan makanan ringan yang kami bawa dari luar desa. Walau tidak bisa saling melihat karena minimnya cahaya, tapi rasanya seperti berada dalam sebuah keceriaan keluarga besar yang sedang berkumpul di rumah orang tua yang sedang di kunjungi oleh anak-anaknya. Rasa lelah yang menghinggapi kami, sudah tak terasa lagi berganti dengan keceriaan suasana dan cerita sepanjang perjalanan. Dan entah apalagi yang kami bicarakan, sampai tidak tahu mau menertawakan apa lagi.
Pemilik rumah yang kami tempati bernama kang Jali, dia warga asli Badui Dalam. Usianya sekitar 26 tahun, memiliki seorang istri dan satu anak laki-laki. Istri kang Jali sangat jarang berbicara, hanya sesekali saja menjawab dari pertanyaan yang aku ajukan. Aku sempat merasa kurang nyaman karena sudah terlalu banyak bertanya. Tapi sungguh sangat ingin bertanya tentang ini dan itu mengenai kehidupan warga Badui Dalam. Kang Jali kadang-kadang menjelaskan apa yang aku tanyakan. Aku sangat tertarik dengan kain tenun orang Badui Dalam yang rapih dan tentu saja berbeda dengan kain tenun dari daerah lain yang ada di Nusantara. Di dalam rumah kang Jali terdiri dari keluarga kang Jali, orang tua dan adik-nya. Warga Badui Dalam rata-rata memiliki jumlah anak sebanyak 5 anak.
Di antara cahaya pelita yang kecil, istri kang Jali tidak begitu saja menghabiskan waktu untuk tidur. Dia memilih menjahit sebuah pakaian tradisional khas Badui Dalam yang memiliki motif sangat simple. Tapi di mataku sangat bernilai seni tinggi. Hasil dari jahitan tangannya sangat rapih seperti menggunakan mesin jahit. Padahal mesin jahit tidak ada di kampung Badui Dalam dan itu tidak dibenarkan menggunakan mesin jahit modern. Salah seorang di antara anggotanya memberi kami air minum dari dalam botol besar, yang biasa aku lihat di laboratorium. Botol besar berwarna coklat mirip botol asam klorida ukuran 5 liter. Bontol yang biasa di gunakan untuk cairan khusus para peneliti di sebuah lab itu menjadi sebuah teko besar, untuk menyimpan air minum. Dengan menggunakan Gelas yang terbuat dari batang bambu berdiameter sekitar 10cm, kami menikmati air minum ala Badui Dalam. Sudah aturan setempat, tidak boleh ada gelas yang terbuat dari “bahan-bahan modern”.
Rasanya masih banyak yang ingin di explore dari Badui Dalam dan kehidupan masyarakatnya. Mereka juga tidak mengenal sekolah, dokter dan agama. Sejauh ini, yang aku ketahui mereka hidup mengikuti aturan yang ada tanpa menambah dan mengurangi aturan yang sudah di turunkan bertahun-tahun kepada anak cucunya. Perbedaan yang bisa di lihat secara kasat mata dari Badui Dalam dan Badui Luar adalah cari corak pakaian yang mereka kenakan. Orang Badui Dalam memakai ikat kepala putih, baju hitam atau putih, dan memakai kain semacam rok berwarna gelap berlurik. Tidak beralas kaki dan tidak memakai pakaian dengan corak lain selain hitam dan puith. Sedangkan orang Badui Luar, menggunakan ikat kepala berwarna biru bermotif batik. Pakaiannya tidak hanya berwarna hitam dan putih saja, tapi orang Badui Luar sudah menggunakan warna lainnya dengan motif bermacam-macam. Warga Badui Laur sudah menggunakan alas kaki seperti sandal, memakai celana pendek atau panjang. Mereka juga sudah mengenal pendidikan, dokter dan lain sebagainya selayaknya masyarakat pada umumnya. Warga Badui selalu menyandang tas kecil dari rajutan yang diselempangkan di tubuh. “Apa isinya?”, biasa mereka gunakan untuk tempat pakaian atau perbekalan yang di bawa dalam perjalanannya keluar masuk desa mereka.
Masyarakat Badui mempunyai prinsip yang kuat untuk mempertahankan adat istiadatnya. Mereka memilih untuk menolak pendidikan dan berbagai unsur modernitas. Terlepas dari kata benar atau salah mengenai sudut pandang mereka, bahwa komunitas suku Badui dengan kesadarannya mereka tidak menerima perubahan yang tidak bawa dari luar adat istiadatnya. Definisi masyarakat tertinggal yang identik dengan ketidak-mampuan mengejar teknologi kekinian, tidak menjadi soal bagi masyarakat Badui. Mereka lebih memilih dalam kesederhanaan dan bersahaja dalam kehidupan yang menyatu dengan alam. Satu pertanyaan, mengapa mereka tidak mau menikmati pendidikan, jawabannya cukup sederhana tapi sangat mendalam, “Kalau kami pintar, kami bisa menipu orang lain yang tidak pintar”.
Getting there
Perjalanan ke kampung Badui Luar dan Badui Dalam bisa di awali dari Jakarta dengan menggunakan kereta api menuju Rangkasbitung
• Kereta api Tanah Abang-Rangkasbitung. Jadwal perjalanan kereta api berangkat 07.50 dengan harga tiket Ekonomi Rp 2.000, tiket Patas Rp 4.000
• Dilanjutkan Angkot dari stasiun Rangkasbitung-Aweh Rp 4.000, dan dari Aweh-Ciboleger Rp12.000
• Untuk rombongan bisa menggunakan bisa Elf yang dicarter, dari stasiun Rangkasbitung-Ciboleger (1 jam perjalanan) dengan tarif PP Rp.500.000
• Menggunakan kendaraan pribadi dengan rute: Jakarta-Tol Tangerang-pintu tol Balaraja timur belok kiri-Rangkasbitung-Lebak-Aweh- Ciboleger.
Untuk menuju kampung Badui hanya bisa diakses dengan berjalan kaki. Tidak ada kendaraan lain selain melakukan tracking menuruni dan mendaki, memang cukup melelahkan. Perjalanan dari desa Ciboleger sampai ke Badui Dalam berjarak sekitar 12 km.
When to go
Waktu terbaik menuju kampung Badui bisa di lakukan kapan saja. Semua waktu bisa kita datangi, kecuali:
• Hapit-lemah (penanggalan Badui) atau bulan Kawalu (penanggalan Sunda dan Jawa) atau bulan Februari-Maret (penanggalan Masehi). Pada bulan ini, Badui Dalam tidak boleh didatangi pengunjung dari luar kampung. Anda bisa mengambil jarak 1 bulan ke depan dan atau 1 bulan ke belakang untuk lebih amannya. Mungkin untuk lebih bisa mengambil bulan April hingga Januari.
• Di bulan Juli-Agustus, biasanya pengunjung meningkat dan ramai karena musim libur anak sekolah.
• Di musim hujan, medan menuju kampung Badui akan menjadi licin dan akan memperlambat waktu tempuh kita sampai di tujuan.
Where to stay
Kampung Badui tidak memiliki penginapan khusus apalagi hotel dan resort. Kampung ini bukan kampung wisata yang memiliki fasilitas penginapan bagi turisnya. Setiap pengunjung yang berencana menginap, bisa menginap di rumah warga setempat. Dengan fasilitas kondisi dan keadaan yang seadanya.
What to do
Tidak banyak yang bisa di lakukan ketika kampung Badui. Trekking adalah salah satu kegiatan yang bisa di lakukan, selain itu camping, mengamati bangunan rumah adat. Berbincang dengan warga setempat bisa di lakukan, tapi untuk Badui Dalam sepertinya mereka memiliki pantangan untuk berkomunikasi dengan warga luar dari kampungnya. Satu-satunya yang bisa di lakukan adalah menikmati suasana alam khas suku Badui Dalam, itu adalah yang bisa kita lakukan. Merasakan air sungai yang jernih, dengan merendamkan tubuh kita ke dalam air yang dingin dan jernih. Sesekali memanjakan tubuh kita dengan air gunung dan rasakan sensasinya mandi di alam terbuka seperti warga setempat.
Warning
Memasuki kampung atau rumah orang lain, tentu kita harus memperhatikan aturan yang ada di kampung tersebut. Ada beberapa pantangan yang harus di perhatikan ketika kita berada di Badui Dalam, misalnya dilarang pakai sabun, shampoo, pasta gigi atau odol dan kamera. Di Badui (Luar dan Dalam) tidak ada WC, cuma sungai yang jadi andalan untuk MCK. Tapi mereka memiliki lokasi tertentu untuk buang hajat anda, Jadi jangan sembarangan membuang hajat. Masuk kampung Badui harus ijin dan membayar tiket masuk Rp 2.000/orang. Sebagai pengunjung yang tidak mengetahui medan, bisa dibilang tidak mungkin ke Badui tanpa pemandu. Apalagi untuk menuju Badui Dalam, anda harus di temani warga setempat (Badui Dalam).
Salam backpacker.
Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar
© backpackerindonesia.com
pd. 23 Okt. 2012, 4.34
kayaknya kalo ga carter elf juga bisa, soalnya kan ada warga baduy luar yg belanja ke rangkas. jadi bisa bareng mereka, cuma berapa lama perjalanan mungkin akan lebih lama karena naik turunin penumpang. kalo carter elf kan bisa langsung. tapi saya rencana pengen kesana lagi tanpa banyakan..alias kurang dari 10 orang aja.
Balas Suka 0pd. 23 Agu 2012, 21.19
mas, sewa guide nya bawar berapa ya?
Balas Suka 0dan btw ko charter dari rangkasbitungnya mahal ya? kaloyg gak charter ada kan ya? :)
makasih.. :)
pd. 5 Agu 2012, 23.02
baduyyy bulan april lalu buat saya pengalaman luarrr biasa :akhirnya:
Balas Suka 0luar biasa jauhnya jalan kaki naik-turun, apalagi waktu itu gerimis jadi trek licin berlumpur tetep dihajar. gak heran banyak temen2 seperjuangan "lumpur Baduy" termasuk saya terpeleset dan jatuh, mantap!
rombongan aku tertinggal aga jauh dari rombongan pertama, karenanya sampai jam 10 malem kita masih berkeliaran di hutan yg gelap,licin,sebelah jurang,,,,capeeeekkk pengen pulang aja,,,,
tapi, meski kita2 ga saling kenal, hanya lewat website bpi, bener2 kita saling bantu, hingga tak terasa sampai di "perumahan" warga baduy dalam,,amazing baduy !!
ada kang herman dan kang emen (warga baduy dalam) yg super duper baik hati dan sabar membuat perjalanan ini terasa agak ringan :)
Luarrrrr biasa ketemu temen2 baru yg menyenangkan dan luarrrr biasa lelahnya sampai ga bisa jalan dua hari hehehe
sekian :victory:
pd. 26 Juni 2012, 3.03
thanks qnanthy..
dennbaguzz: ya harus kesana, bair bisa menikmati suku2 asli yang masih ada di indonesia. seruuuu
Balas Suka 0pd. 24 Juni 2012, 8.22
seruuuuu .. pengen suatu saat ke badui ...
Balas Suka 0pd. 22 Juni 2012, 16.31
Good Article :jempol:
Balas Suka 0pd. 21 Juni 2012, 3.17
thanks..
ya harus ke baduy dalam kalo emang suka sama suku2 asli. :) seru!!
Balas Suka 0pd. 19 Juni 2012, 23.05
temen aq kmren tgl 15 br jg ke baduy dalam,,ada rekamannnya jg,,cekidot yg pgn liat http://www.youtube.com/watch?v=cofYJEqMfNw&feature=youtu.be
Balas Suka 0smoga dberi kesempatan dpt ksini jg,,
pd. 17 Juni 2012, 23.45
thank you..:) tapi masih tulisan sederhana aja..semacam catatan pribadi.
Balas Suka 0pd. 15 Juni 2012, 20.55
LIKE THIS!! :bigsmile:
Balas Suka 0